Wednesday, February 22, 2017

Pentingnya Menyambung dan Memperkuat Keberlanjutan Perjuangan Kaum Santri

Pentingnya Menyambung dan Memperkuat Relasi Perjuangan Kaum Santri
Pentingnya Menyambung dan Memperkuat Relasi Perjuangan Kaum Santri
ENEWS.ID - Komitmen kebangsaan kaum ulama-santri NU kuat karena memiliki sanad yang jelas.  Sanad yang dimaksud tidak hanya sanad dalam keturunan biologis, melainkan sanad atau ketersambungan dalam keilmuan, ibadah dan yang telah terbukti dalam sejarah adalah sanad perjuangan membela bangsa dan negara. Karena itu untuk melemahkan semangat juang santri adalah dengan memutus tali sanad tersebut.

Kembali menengok sejerah perjuangan kaum satri dan pesantren sebagai basis pergerakannya. Penjajah berusaha keras bagaimana kelompok santri ini melemah. Salah satunya dengan mengubah sistem dan memutus sanad-sanad tersebut.

Uraian tersebut dijelaskan oleh Wakill Sekjen PBNU, KH. Abdul Mun’in Dz  dalam kesempatan Diskusi Islam dan Kebangsaan di Islam Nusantara Center, Ciputat , Rabu 22/02 Bersama Gus Z. Milal Bizawie.

Kiai Mun’im mengatakan bahwa pemutusan sanad itu dilakukan di segala bidang. Dalam keilmuan, penjajah melakukan perombakan, pemisahan bidang-bidang ilmu. “Ilmu-ilmu itu tidak hanya ganti nama, tapi juga ganti filosofi, ganti paradigma. Seperti zologi, biologi, geografi, botani yang diajarkan mulai SD sampai perguruan tinggi itu sudah disterilkan. Dari agama dan dari kepentingan nasional”.

Jadi ilmu harus netral, tidak boleh mengabdi agama. Sampai orde baru, diobjektifkan dipisahkan dari misi keagamaan. Ilmu sudah tidak me-nusantara. Ilmu mengabdi kepentingan kapitalisme global. Keterputusan lain yang lebih parah lagi terjadi dalam bidang harakah atau ideologi perjuangan.

“Jadi kita membela NKRI hanya karena kita orang Indonesia, mau nggk mau kita harus memperjuangkan sebagai tempat hidup kita. Bukan berangkat konsekwensi logis dari ajarah ahlussunnah wal jamaah yang mengharuskan gerakan untuk membela tanah air” papar Kiai Mun’im.

Perjuangan santri jika dirunut ke belakang sebenarnya sampai pada perjuangan awal ulama-ulama Nusantara, tapi mengalami keterputusan. Mun’im mengutip perkataan Dr. Douwes Dekker : kalau tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama nasionalisme (kebangsaan) yang sebenarnya lenyap dari Negeri ini.

Kenapa seperti itu, hanya kalangan santri lah yang masih punya semangat kebangsaan. Di luar itu adalah didikan belanda.

Punjer Semangat Nasionalisme Kaum Santri

Kenapa kalangan santri begitu intensif dan berkomitmen kuat dalam membela bangsa dan negara.? Mun’im mengutip ayat berbunyi “la uqsimu bihadzal balad, faqqu roqobah, au ith’amun. Maqrabah.” (Al-Balad).

“Makanya aneh jika ada yang mengharamkan nyanyi lagu padamu negeri, itu kan mereka tidak membaca surat ini. Allah saja bersumpah pada negeri, kok kita berjanji pada negara tidak boleh” tandas penulis buku Fragmen Sejarah NU ini.

Kemudian, lagu kebangsaan Shubbanul Wathan yang diciptakan oleh KH. Wahab Chasbullah semakin memperkuat komitmen kebangsaan santri. Berisi seruan pembelaan terhadap tanah air dan ancaman jika ada yang berani mengganggu negeri Indonesia.

Lebih lanjut Kiai Mun’im menjelaskan kenapa NU begitu kuat memegang tradisi. Dalam Aswaja ada kaidah Al-’Adah Muhakkamah , sebagaimana juga dikutip dari Al-Imam asy-Syafi’i dalam Kitab al-Umm, Jilid 7, hal. 246 yang berbunyi “dalam setiap membangun komunitas muslim,   di dalamnya selalu terdapat budaya yang telah mapan, maka hormatilah tradisi yang  telah berjalan tersebut.”

Oleh karen itu, sejak dulu para Wali dan ulama di Nusantara sudah paham betul dalam menyikapi tradisi yang kuat di wilayah penyebaran Islam. Para wali punya strategi dakwah menghormati budaya nasional, yaitu tadrij : bersifat gradual tidak instan, taklilut taklif : tidak memberatkan masyarakat, ‘adamul haraj : tidak mengancam siapapun.

Keakraban dengan tradisi lokal tersebut menjadi modal kuat perjuangan para ulama-ulama selanjutnya. Sehingga tidak heran jika para ulama mengajarkan kecintaan terhadap tanah air dan menolak segala bentuk penajajahan.

Artinya sanad perjuangan itu terus bersambung. Kiai Mun’in berkata “Ini berkaitan dengan sanad tadi, Sanad itu perlu disambung, tidak hanya berhenti di Bung Karno. Bagaimana Islam Nusantara itu anti terhadap kolonialisme”.

Untuk membuktikannya Kiai Mun’im menjelaskan garis besar sejarah ketersambungan sanad perjuangan itu. Ia menyebutkan bahwa Anti kolonialisme ini sudah dimulai sejak perjuangan awal para wali dan pejuang Islam abad ke 16 hingga abad ke-19 Pangeran Diponegoro. Kemudian dilanjutkan oleh para pasukkannya dimana Pesantren menjadi pusat perlawanan. (Iqbal)

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement