![]() |
Kesaksian Lengkap Kyai Ahmad Ishomuddin Ringankan AHOK (Bagian 1) |
Dilansir, Suara Islam, Jum'at (31/03/2017) transkrip rekaman sidang AHOK itu dibagi menjadi tiga (3). Bagian Pertama, pertanyaan dari Majelis Hakim, Bagian Kedua pertanyaan dari Penasehat Hukum dan Bagian Ketiga Pertanyaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam transkrip Bagian Pertama, kami menyarikan beberapa poin penting dari keterangan Ahli, Kiai Ahmad Ishomuddin sebagai berikut:
- Awliyaa’ dalam Terjemahan Departemen Agama yang Sudah Disahihkan Artinya: Teman Setia
- Menurut 30 Kitab Tafsir yang Saya Riset Tidak Satu pun Mengartikan Awliyaa sebagai “Pemimpin”
- Awliyaa’ yang Diartikan “Pemimpin” Terjemahan Departemen Agama yang Lama dan Sudah Direvisi
- Larangan Al-Maidah 51 Menjadikan Non Muslim sebagai Awliyaa’ menjelaskan Permusuhan dan Pengkhianatan
- Sebab Turunnya Al-Ma’idah 51 Adalah Peperangan dan Klem “Jadi Teman Setia Saja Tidak Boleh Apalagi Jadi Pemimpin:” Kesimpulan yang Tidak Tepat
- Contoh Penafsiran Ulama-ulama Klasik terhadap Al-Maidah 51
- Ahli sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Tidak Dilibatkan dalam Perumusan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI
- Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI Memicu Masalah Menjadi Besar karena MUI tidak Melakukan Tabayun ke Basuki Tjahaja Purnama
- GNPF-MUI Semakin Memicu Masalah Kasus Basuki Tjahaja Purnama
- Al-Ma’idah 51 Tidak Ada Kaitannya dengan Kampanye dan Pemilihan Pemimpin
- Al-Ma’idah 51 untuk Mengingatkan Tidak Dilarang, yang Dilarang untuk Menyerang dan Merendahkan Orang Lain
- Pidato Basuki Tjahaja Purnama Soal Al-Ma’idah 51 untuk Meyakinkan Audiens Mengenai Program bukan Bermaksud untuk Menghinakan
- Ucapan Basuki Tjahaja Purnama Soal Al-Maidah 51 Terkait Pengalaman Masa Lalunya Tidak Dimaksudkan untuk Penistaan
- Dilarang Menjadikan Yahudi dan Kristen sebagai “Teman Setia” Apabila Memusuhi dan Mengkhianati Orang Islam
- Al-Quran Itu Benar, tapi Bisa Dipakai untuk Sesuatu yang Tidak Benar
- Maksud “Dibohongi’ adalah Konteks Pemilihan Gubernur, karena Al-Ma’idah 51 Tidak Ada Kaitannya dengan Pemilihan Gubernur
Berikut transkrip lengkap keterangan Ahli Agama Islam, Kiai Ahmad Ishomuddin dalam Sidang Perkara Penogaan Agama yang didakwakan pada Basuki Thajaja Purnama, Bagian Pertama. Apabila ada kekeliruran tranliterasi istilah Arab, berpulang pada kelemahan kami. [next]
***
[1:41] HAKIM KETUA: Saudara Ahli ya, Saudara saya panggil “Ahli.” Nama lengkapnya siapa?
[1:49] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Ahmad Ishomuddin..
[1:50] HAKIM KETUA: Diambil mic-nya.
[2:00] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Nama lengkap Ahmad Ishomuddin.
[2:11] HAKIM KETUA: Saudara dihadirkan sebagai ahli agama Islam?
[2:14] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Ahli agama Islam.
[2:17] HAKIM KETUA: Tempat tanggal lahir?
[2:20] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Jatirenggo, 11 Juni 1968.
[2:26] HAKIM KETUA: Jatirenggo itu di mana? Jatirenggo.
[2:28] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Jatirenggo itu sekarang masuk ke Kabupaten Pringsewu Lampung.
[2:31] HAKIM KETUA: Oh, begitu. … itu?
[2:36] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): … itu Kabupaten … .
[2:40] HAKIM KETUA: … .
[2:40] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Pringsewu.
[2:41] HAKIM KETUA: Kabupaten Pringsewu?
[2:43] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Kabupaten Pringsewu.
[2:43] HAKIM KETUA: Pecahan itu ya?
[2:44] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Pecahan dari Kabupaten … .
[2:50] HAKIM KETUA: Jenis kelamin laki-laki. Kebangsaan Indonesia. Agama Islam. Pendidikan terakhir?
[2:57] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): S2 konsentrasi syariah di IAIN Imam Bonjol Padang Sumatera Barat.
[3:05] HAKIM KETUA: IAIN Imam Bonjol Padang. Sampai selesai/tamat?
[3:08] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tamat. S3 yang tidak diselesaikan.
[3:14] HAKIM KETUA: Pekerjaan PNS di mana ini?
[3:17] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung.
[3:21] HAKIM KETUA: Raden Intan Lampung ya. Dan Rais Syuriah?
[3:28] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2015, dan diangkat/diminta lagi 2015-2020.
[3:39] HAKIM KETUA: Jadi, 2010 sampai sekarang ya?
[3:42] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[4:09] HAKIM KETUA: … Bandar Lampung ya. Baik, Saudara mengenal Terdakwa?
[4:15] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya mengenal beliau pada malam ceramah Hari Santri di Jakarta.
[4:24] HAKIM KETUA: Tidak ada hubungan keluarga ya?
[4:25] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak ada hubungan keluarga.
[4:27] HAKIM KETUA: Baik, Saudara bersedia disumpah sebelum memberikan keterangan?
[4:30] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Bersedia.
[4:32] HAKIM KETUA: Bersedia ya. Baik. Sebelum disumpah, saya ingatkan bahwa nantinya Saudara harus memberikan keterangan sesuai dengan keahlian Saudara dalam hal ini bidang agama Islam ya. Silakan, Saudara berdiri. Ditaruh mic-nya. Disumpah oleh Hakim Anggota. Silakan.
[5:00] HAKIM ANGGOTA (?): Baik, supaya diikuti ya. “Bismillahir Rahmanir Rahim. Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya sesuai dengan pengetahuan dalam bidang keahlian saya.” [Sumpah diikuti oleh Ahli A. Ishomuddin]
Silakan duduk.
[5:39] HAKIM KETUA: Baik ya, Saudara sudah disumpah sebagai ahli di sini untuk memberikan keterangan yang sesuai dengan pengetahuan yang Saudara kuasai. Saudara Ahli ya, ahli agama ini khususnya bidang apa di sini?
[5:57] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Bidang fikih dan bidang ushulul fiqh, usul fikih.
[6:02] HAKIM KETUA: Usul fikih. Apa itu usul fikih?
[6:04] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Ilmu tentang dalil-dalil fikih secara global. Ilmu metodologi hukum Islam atau ilmu yang digunakan untuk menghasilkan fikih.
[6:20] HAKIM KETUA: Kalau menguasai ilmu fikih ini apa termasuk tafsir Quran?
[6:25] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Untuk bisa menguasai ilmu fikih harus mengerti ilmu tafsir, baik tafsir Alquran maupun tafsir mengenai hadis.
1. Awliyaa’ dalam Terjemahan Departemen Agama yang Sudah Disahihkan Artinya: Teman Setia
[6:34] HAKIM KETUA: Kita langsung saja ke surat Al-Maidah ayat 51 ya. Masih ingat Saudara bunyi suratnya itu? Ayat 51.
[6:50] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Alquran surat Al-Maidah ayat 51, Allah Swt. berfirman: “A’udzubillahi min asy-syaithanir rajim. Ya ayyuhal ladzina amanu la tattakhidzul yahuda wa an-nashara awliyaan, ba’duhum awliya’u ba’din. Wa mayyatawallahum minkum fa innahu minhum, innallaha la yahdil qawma adz-dzalimin.”
[7:09] HAKIM KETUA: Jadi, itu bunyi daripada surat Al-Maidah ayat 51. Bisa Saudara artikan?
[7:22] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): “Ya ayyuhal ladzina amanu (wahai orang-orang yang beriman) la tattakhidzu (janganlah kamu mengambil atau menjadikan) al-yahuda (orang Yahudi) wa an-nashara (dan orang Nasrani) awliya’a (sebagai awliya).”
[7:39] HAKIM KETUA: Oke, awliya.. Artinya awliya itu apa?
[7:42] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Sebagai awliya.
[7:44] HAKIM KETUA: Nah, awliya itu apa? Sebagai awliya itu artinya menurut keahlian Saudara..
[7:49] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Menurut tafsir Departemen Agama terbaru yang ditahkik atau ditashih oleh para pakar tafsir Indonesia adalah “teman setia.”
[8:08] HAKIM KETUA: Teman setia.
[8:10] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): “Wahai, orang-orang yang beriman. Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setiamu, mereka satu sama lain saling melindungi. Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zalim.” Teman setia. [next]
2. Menurut 30 Kitab Tafsir yang Saya Riset Tidak Satu pun Mengartikan Awliyaa sebagai “Pemimpin”
[8:39] HAKIM KETUA: Kalau ada yang mengartikan awliya itu “pemimpin,” pendapat Ahli gimana?
[8:48] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Kata awliya adalah kata yang musytarak. Kata musytarak itu artinya memiliki makna dua atau lebih, memiliki makna ganda atau lebih, yang ahli tafsir pasti memilih salah satu dari beberapa makna yang dianggapnya tepat untuk menafsirkan ayat tersebut dan mungkin meninggalkan makna yang lainnya. Kalau ada yang menerjemahkan sebagai pemimpin, ya di[per]silakan. Tetapi dalam riset saya terhadap sekitar 30 kitab tafsir, tafsir-tafsir terdahulu yang mu’tabar—dan mohon maaf, Yang Mulia Pak Hakim, saya membawa sekitar 111 halaman dari puluhan kitab tafsir—tidak satu pun saya mendapati bermakna “pemimpin.” Jadi, kata awliya adalah kata yang musytarak; memiliki banyak sekali makna yang ahli tafsir memilih satu di antara makna tersebut.
[9:55] HAKIM KETUA: Jadi, dari beberapa banyak makna tersebut, yang di antaranya adalah teman setia ya, Saudara ambil dari tafsiran atau terjemahan Kementerian Agama?
[10:12] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, tapi di dalam tafsir yang lain, hasil penelitian saya antara lain adalah tafsir yang diceritakan oleh asy-syaikh … [10:20] Muhammad Amin Al-Hara .. Asy-Syafi’i, seorang ulama besar tafsir dari Mekah, di dalam kitab tafsir Hadhaikur Ruh war Rayhan fi Ulumil Qur’an jilid tujuh halaman 340 yang dimaksud dengan awliya ay aslitha; yang dimaksud awliya adalah teman-teman, teman-teman baik, wa ansharan (para penolong), wa a’wanan (dan orang yang membantu) ‘ala ahli imani billahi wa rasulihi (yang membantu keperluan orang-orang beriman kepada Allah dan rasul-nya). Arti ayat la tattakhidz ahadun minkum ahadan minhum waliya, “Janganlah salah seorang di antara kamu mengambil orang Yahudi dan orang Nasrani sebagai wali”; sebagai teman setia, sebagai penolong, maupun sebagai orang yang membantumu.
3. Awliyaa’ yang Diartikan “Pemimpin” Terjemahan Departemen Agama yang Lama dan Sudah Direvisi
[11:18] HAKIM KETUA: Jadi, pendapat Ahli tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa arti awliya itu sebagai pemimpin. Begitu?
[11:26] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, kecuali terjemahan Departemen Agama yang lama dan sudah direvisi.
[11:37] HAKIM KETUA: Kalau kita mengartikan secara bahasa, tadi, dilarang mengambil orang muslim ya?
[11:59] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Orang muslim dilarang mengambil..
4. Larangan Al-Maidah 51 Menjadikan Non Muslim sebagai Awliyaa’ menjelaskan Permusuhan dan Pengkhianatan
[12:02] HAKIM KETUA: Dilarang mengambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia ya. Ada yang berpendapat teman setia aja enggak boleh, kalau pemimpin apalagi. Begitu. Bagaimana kalau pendapat ini menurut Ahli?
[12:14] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Bahwa menurut metodologi hukum Islam atau ilmu usul fikih, untuk mengartikan suatu ayat dalam konteks kekinian itu biasanya melalui jalur kias. Di antara macam-macam kias itu ada yang disebut dengan al-qiyas al-awlawi yang oleh Al-Iman Asy-Syafi’i disebut sebagai al-qiyas al-jali. Qiyas awlawi ialah apabila suatu teks Alquran atau hadis Nabi menyebut dalam kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan suatu kasus yang akan dihukumi, para ahli ilmu usul fikih menjelaskan di antara contoh yang populer tentang penggunaan qiyas awlawi adalah wa la takul lahuma uhfin (dan janganlah kamu mengatakan uhfin, “cis” atau “ah,” kepada kedua orang tua kamu). Kata uhfin adalah kata yang menyakiti dengan kualitas terendah untuk maksud mengharamkan menyakiti pada al-mas’ud anhu, pada suatu perbuatan yang tidak disebutkan oleh teks. Tetapi untuk melakukan qiyas awlawi itu harus memiliki illat bi huqmi yang sama antara al-ashl—yaitu yang terdapat dalam teks—dengan al-far’u, yaitu pada kasus yang akan dikiaskan. Untuk itu, maka perlu ada masalikul illat, perlu ada langkah-langkah untuk mencari illat; mencari kausa legis atau alasan yang tepat yang sama yang akan ditarik untuk diambil kesimpulan hukum yang sama. Kalau contohnya adalah wa la takul lahuma uhfin, maka yang terukur untuk menjadi alasan adalah al-idza yaitu menyakiti. Menyakiti itu ada pada mengatakan uhfin, mengatakan “cis,” mengatakan “ah,” namun menyakiti dalam kualitas terendah. Maksud ayat Alquran itu adalah untuk mengharamkan juga perbuatan menyakiti yang lain yang lebih tinggi yang tidak disebutkan oleh teks Alquran tersebut. Dalam kaitannya dengan Q.S. Al-Maidah ayat 51, kalau kata awliya diterjemahkan dengan kata “teman setia” kemudian ada orang yang mengatakan menjadikan teman setia saja tidak boleh apalagi menjadikannya pemimpin, perkataan semacam itu atau kesimpulan semacam itu harus melalui metode untuk memahami teks tersebut—yaitu Quran surat Al-Maidah ayat 51—yaitu menggunakan mafhum awlawi. Setelah Ahli melakukan penelitian terhadap berbagai kitab tafsir yang jumlahnya sangat banyak, hampir 101 halaman fotokopinya, ternyata para ulama menyepakati bahwa mengapa orang beriman dilarang mengambil orang Yahudi dan orang Nasrani sebagai teman setia atau sebagai penolong atau sebagai pembantu dan sebagainya, sahabat karib misalnya, itu karena illat, motif hukum, kausa legis..[next]
5. Sebab Turunnya Al-Ma’idah 51 Adalah Peperangan dan Klem “Jadi Teman Setia Saja Tidak Boleh Apalagi Jadi Pemimpin:” Kesimpulan yang Tidak Tepat
[15:42] HAKIM KETUA: Alasan ya?
[15:43] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Alasan, yaitu ghayatul ‘adawah wal khianat (puncak dari permusuhan atau permusuhan yang teramat sangat) dan al-khianat yaitu pengkhianatan. Maka sesungguhnya konteks ayat itu, ayat 51 Q.S. Al-Maidah, adalah konteks peperangan. Itu dapat dilihat dari sababun nuzul-nya, di mana sebagian orang Yahudi membantu sebagian orang Yahudi yang lain untuk memusuhi Rasulullah, untuk memusuhi apa yang dibawa Rasulullah, dan untuk memusuhi orang-orang yang mengikuti Rasulullah Saw.. Yang demikian ini juga dilakukan oleh orang-orang Nasrani pada masa itu di Madinah. Sebagian orang Nasrani menjadi penolong, teman setia, bagi yang lain dalam rangka memusuhi kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw.. Maka illat yang sama pada ayat tersebut, kalau mau diterapkan dalam konteks kekinian, itu adalah ghayatul ‘adawah wal khianat. Dan puncak permusuhan maupun pengkhianatan itu hanya bisa terjadi kalau konteksnya sama, di mana terjadi peperangan secara fisik antara orang Islam dengan orang-orang yang beragama lain yaitu Yahudi atau Nasrani. Maka kesimpulannya bahwa apabila ada orang yang mengatakan “jika menjadi teman setia saja tidak boleh, apalagi menjadi pemimpin” adalah merupakan kesimpulan yang tidak tepat, karena tidak melalui proses-proses metodologi penafsiran menurut ahli metodologi usul fikih. Saya kira demikian, saya tidak menyetujui apabila ada orang yang mengatakan “teman setia saja tidak boleh, apalagi menjadi pemimpin” karena tidak ada kesamaan illat. Dan kesamaan illat merupakan arkamul qiyas, salah satu dari arkamul qiyasi yang empat; rukun kias atau sesuatu yang harus dipenuhi pada saat orang melakukan analogi atau kias. Sehingga hukumnya bisa disimpulkan dengan sebenar-sebenarnya. Hukumnya sama di dalam.. Kapan saja ada permusuhan, maka tidak diperkenankan melakukan teman setia karena dikhawatirkan akan membocorkan rahasia atau melakukan pengkhianatan-pengkhianatan. Terima kasih, Yang Mulia.
[18:21] HAKIM KETUA: Apakah ini karena sifatnya khianat tadi yang utama?
[18:28] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Pada situasi-situasi pertempuran/peperangan, pengkhianatan sangat mungkin terjadi dilakukan oleh sebagian orang Islam. Maka kata ya ayyuhal ladzina amanu menurut sebagian ahli tafsir sesungguhnya bukan murni ditujukan kepada orang-orang yang beriman, yang dimaksud ya ayyuhal ladzina amanu di dalam Qura surat Al-Maidah ayat 51 sesungguhnya ditujukan kepada orang-orang munafik. Mengapa menggunakan kata ya ayyuhal ladzina amanu (wahai, orang-orang yang beriman)? Karena orang munafik itu menampakkan keimanan dan menyembunyikan permusuhan. Tetapi zumhur ulama menyatakan kata ya ayyuhal ladzina amanu adalah ‘am (umum), berlaku untuk semua orang Islam; baik yang sesungguhnya maupun yang menampakkan keimanan secara lahiriah alias orang-orang munafik.
[19:23] HAKIM KETUA: Kalau pendapat Ahli begitu, kenapa itu bukan ayyuh an-nas saja? Kan umum, itu.
[19:30] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Ayyuh an-nas juga umum, tetapi wahyu itu datang dari Allah bukan dari saya.
[19:40] HAKIM KETUA: Atau al-munafiqun, misalnya.
[19:43] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak.
[19:45] HAKIM KETUA: Itu..
[19:44] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Maka saya katakan bahwa itu adalah tafsir dari para ahli tafsir. Ahli tafsir sudah mulai berbeda pendapat sejak kata ya ayyuhal ladzina amanu apakah ditujukan secara umum kepada orang beriman ataukah khitab-nya itu ditujukan kepada orang-orang munafik, yang seperti ini diketahui dari sababun nuzul li hadzihil ayah; diketahui dari sebab atau latar belakang mengapa ayat ini diturunkan.
[20:13] HAKIM KETUA: Mohon jelaskan ya, Ahli. Ini kan saya pribadi masih awam ya dalam hal ini. Kalau itu ditujukan bukan kepada orang yang beriman, menurut saya, ayat ini jelas untuk melindungi orang beriman supaya tidak ditelikung gitu loh..
[20:43] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, tidak dikhianati oleh orang beriman yang munafik.
[20:47] HAKIM KETUA: Loh, kalau orang yang munafik risikonya dia kan?
[20:50] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[20:50] HAKIM KETUA: Tapi kalau yang dilindungi pun orang yang beriman, janganlah kamu memilih teman orang Yahudi atau Nasrani. Ini kan dilindungi karena keimanannya. Tapi kalau itu sudah orang munafik, biarkan saja. Itu risikonya dia kan begitu. Secara awam ya ini?
[21:10] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[21:10] HAKIM KETUA: Coba tolong dijelaskan.
[21:12] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya meneliti berbagai kitab tafsir, antara lain disampaikan oleh Muhammad bin Ali Asy-Syaukani. Di dalam kitab Fathul Qadir Al-Jami’ Baynal Fanil Riwayat wa Dirayah min Ilmi Tafsir juz 2 halaman 10, beliau menyatakan bahwa ya ayyuhal ladzina amanu secara lahir hakikatnya ditujukan kepada orang-orang yang beriman yaitu khitabu lil mu’minin. Ini pendapat yang pertama. Ini pendapat mayoritas ulama. Ada pendapat lain (qila)—qila itu pendapat lain yang menurut para ahli adalah lemah—menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “wahai, orang-orang yang beriman” adalah orang-orang munafik, yaitu al-munafiqun. Yang menjadi sasaran pembicaraan larangan ini adalah orang-orang munafik agar mereka kembali kepada keimanan yang sesungguhnya sehingga mereka tidak berkhianat kepada umat Islam.[next]
[22:15] HAKIM KETUA: Iya, tadi, Saudara katakan bahwa ada dua..
[22:18] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tafsir.
[22:18] HAKIM KETUA: Dua tafsir ya. Yang mayoritas menafsirkan bahwa itu untuk orang beriman, kemudian yang lainnya yang lemah itu untuk orang ini. Mengapa Saudara memilih yang lemah daripada yang umum?
[22:31] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya tidak memilih yang lemah, saya menceritakan kedua-duanya.
[22:36] HAKIM KETUA: Iya.
[22:36] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya menceritakan kedua-duanya, ada tafsir yang mayoritas, ada tafsir yang dianut oleh minoritas. Saya menjelaskan ada tafsir yang kuat, yaitu keseluruhan orang yang beriman, ada tafsir yang menurut para ahli tafsir ini adalah pendapat yang lemah karena khitab atau sasaran firman Allah ini adalah orang-orang yang beriman. Dan saya tidak memilih kepada salah satunya. Tentu, saya kalau diminta memilih adalah memilih pendapat yang mayoritas; ditujukan untuk semua orang yang beriman.
[23:11] HAKIM KETUA: Silakan dilanjutkan.
- * **
[23:17] HAKIM ANGGOTA 1: Saudara Ahli ya. Ini, Saudara di BAP mengatakan pekerjaan PNS dan Rais Syuriah di PBNU ya. Saya sedikit.. Ada rais am, ada rais syuriah itu.. Ini sekadar pengetahuan aja ya. Bagaimana itu?
[23:35] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Baik, Yang Mulia. Saya hadir di tempat ini bukan mewakili PBNU, bukan mewakili MUI juga, karena saya juga salah satu wakil ketua komisi fatwa, dan juga bukan mewakili instansi tempat saya bekerja; saya hadir sebagai pribadi. Kalau pertanyaannya adalah rais syuriah.. eh, rais am, itu adalah pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama. Ada pun saya rais syuriah adalah pembantu rais am. Rais am dan rais syuriah adalah jajaran syuriah yang merupakan pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama yang membawahi Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. K.H. Said Agil Siradj.
[24:12] HAKIM ANGGOTA 1: Iya, ini sekadar pengetahuan saja ya bahwa Saudara hadir di sini sebagai pribadi. Itu nanti menjadi penilaian kita ya. Kemudian, ini ada berita acara yang sudah Saudara benarkan ya. Apakah benar sebelum Saudara dimintai keterangan di sini terlebih dahulu sudah dimintai keterangan oleh penyidik?
[24:36] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Di Bareskrim, saya pernah dimintai keterangan.
[24:39] HAKIM ANGGOTA 1: Begitu ya. Kemudian, Saudara tadi mengatakan posisinya sebagai ahli agama Islam terlebih khusus dalam bidang fikih maupun usul fikih. Kalau enggak salah begitu ya. Untuk menjadi ahli fikih dan usul fikih tadi itu secara otomatis harus tahu tafsir. Kan gitu ya?
[25:07] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Disyaratkan harus mengerti tafsir..
[25:08] HAKIM ANGGOTA 1: Disyaratkan.
[25:09] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Karena tidak mungkin kita bisa menjelaskan fikih tanpa menafsirkan. Dan fikih ada pemahaman, pemahaman adalah penafsiran.
[25:17] HAKIM ANGGOTA 1: Begitu ya. Ini ada berita acara halaman 6 nomor 12 ya. Ini, saya cuma mau membacakan dan nanti tolong diklarifikasi oleh Saudara Ahli ya. Di jawaban Saudara nomor 12, atas pertanyaan “Dapatkah Saudara Ahli menjelaskan kandungan isi surat Al-Maidah ayat 51 secara utuh kepada penyidik?” Ini masih penyelidik ya … [25:54] menjadi masalah. Lalu, saya menjawab “Kandungan isi surat Al-Maidah ayat 51 intinya melarang orang-orang yang beriman mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani (nonmuslim) menjadi awliya, sebagian mereka adalah sebagai awliya bagi sebagian yang lain.” Begitu ya? Kemudian yang di bawahnya, “Kata awliya sendiri adalah kata yang—tadi sudah Saudara terangkan—musyatarak, yakni memiliki sejumlah makna. Kemudian, dalam bahasa Arab kata awliya memiliki arti yang sangat banyak, seperti kulu man waliya awrad.” Kalau salah, ini kan awam ya. “Ini pemimpin atau penguasa, al-muhib (kekasih), al-jar (tetangga), ash-shadiq (teman), al-khalid (sekutu), al-mu’ti (orang yang taat atau patuh), dan sebagainya.” Dari keterangan ini, dari jawaban Saudara, Saudara menjelaskan bermacam-macam. Namun demikian, tadi ditanyakan oleh Ketua Majelis mengatakan saya.. Apa istilahnya? Lebih setuju, lebih apa tadi.. Itu kalau diterjemahkan dengan teman setia. Begitu kan?[next]
[27:30] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, teman akrab atau teman setia.
[27:34] HAKIM ANGGOTA 1: Jadi, tidak ya setujulah begitu ya kalau ini diterjemahkan sebagai pemimpin. Ini, Saudara sebagai ahli..
[27:45] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, saya hanya menceritakan bahwa arti awliya—jamak daripada wali, wali bentuk tunggal; waw, lam, ya, dan bentuk jamakanya adalah awliya—itu bisa diteliti lewat kamus-kamus ternyata dalam kamus bahasa Arab pun kata wali atau awliya itu memiliki banyak sekali makna.
[28:07] HAKIM ANGGOTA 1: Banyak sekali makna ya?
[28:07] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[28:07] HAKIM ANGGOTA 1: Berbagai macam makna seperti yang sudah Saudara sebutkan tadi ya?
[28:10] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[28:11] HAKIM ANGGOTA 1: Kemudian, tadi, Saudara mengatakan sebagai ahli fikih dan usul fikih dengan sendirinya juga harus menguasai tafsir ya. Coba, ada berapa metode untuk menafsirkan (metode tafsir)?
[28:29] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Metode tafsir itu yang terkenal ada empat. Yang pertama adalah tafsir al-ijmali, menafsirkan ayat secara global; secara garis besarnya saja maksud ayat. Yang kedua adalah tafsir at-tahili, metode analisis. Yang ketiga adalah tafsir al-muqaranah, yaitu perbandingan; perbandingan antara satu ayat dengan ayat yang lain yang sejenis atau perbandingan suatu ayat dengan hadis-hadis Nabi. Yang terakhir adalah at-tafsir al-mawdu’i yang dikenal dengan tafsir tematik, biasanya dilakukan dengan mengumpulkan kata-kata yang sama di dalam ayat-ayat yang berbeda-beda tempatnya maupun suratnya untuk diketahui apa maknanya untuk kemudian disimpulkan menjadi sebuah kesimpulan berdasarkan metode tersebut.
[29:25] HAKIM ANGGOTA 1: Yang terakhir tadi perbandingan ya?
[29:28] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Perbandingan.
[29:28] HAKIM ANGGOTA 1: Perbandingan. Lalu, kalau begitu ya Saudara mengatakan lebih setuju atau apa … itu diterjemahkan menjadi teman setia. Adakah Saudara juga melalui tafsir yang terakhir tadi, perbandingan tadi, dengan ayat-ayat yang lain?
[29:49] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Mengerti tafsir itu tidak harus ahli tafsir.
[29:52] HAKIM ANGGOTA 1: Bukan, maksud saya begini. Saudara kan menerjemahkan awliya dalam Al-Maidah 51 itu lebih kepada “teman setia.”
[30:02] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[30:03] HAKIM ANGGOTA 1: Kemudian, Saudara menjelasakan bahwa metode tafsir ada empat.
[30:06] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[30:07] HAKIM ANGGOTA 1: Yang terakhir tadi perbandingan. … itu perbandingan ya?
[30:11] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[30:11] HAKIM ANGGOTA 1: Nah, tematik ya, dengan ayat lain. Sebelumnya, sebelum masuk ke situ ya, saya ingin tanyakan.. Jadi, tadi kan Saudara mengatakan terjemahanan di dalam Alquran yang diterjemahkan oleh Kementerian Agama dulu kan “pemimpin” ya? Sekarang sudah diubah menjadi “teman setia.” Kan begitu?
[30:36] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[30:39] HAKIM ANGGOTA 1: Nah, apakah terjemahan di dalam ayat-ayat suci Alquran yang kemudian sudah dibukukan ya terjemahannya itu sekaligus tafsir atau hanya terjemahan kata-kata secara harfiah?
[30:57] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Terjemah itu terkategori sebagai tafsir.
6. Contoh Penafsiran Ulama-ulama Klasik terhadap Al-Maidah 51
[31:00] HAKIM ANGGOTA 1: Terkategori sebagai tafsir. Nah, justru itu ya. Kalau Saudara mengatakan bahwa awliya dalam Al-Maidah ayat 51 diterjemahkan—yang sekaligus sebagai tafsir, katanya—sebagai teman setia, adakah Saudara membanding-bandingkan … dan ayat-ayat yang lain?
[31:22] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, saya menggunakan metode muqaranah, tafsir muqaranah. Tetapi dari hasil penfsiran ulama-ulama terdahulu, ada misalnya ditulis oleh Said Hawa. Dalam kitab Al-Asaswi Tafsir halaman 1426 jilid tiga, Saida Hawa mengatakan ya ayyuhal ladzina amanu la tattakhidzul yahuda wa an-nashara awliya ay tansurunahum wa tastansirunahum wa tu’ahunahum wa tu’asyirunahum mu’asyaratal mu’minin. “Wahai, orang-orang beriman. Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai awliya” artinya menolong mereka, kamu meminta tolong kepada mereka, bersaudara dengan mereka, bergaul dengan mereka seperti mempergauli orang-orang yang beriman. Ini hanya terjadi pada orang yang berteman dekat atau yang menjadi teman setia. Yang kedua, Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani yang jenis tafsirnya adalah at-tafsir al-isyari di dalam Tafsir Al-Jilani menyatakan ya ayyuhal ladzina amanu alla tattakhidzul yahuda wa an-nashara awliya tu’awanunahum wa tushahibunahum mitslah wa atil mu’minin wa la ta’tabidu wa la tatsiqu bi wajadatihim wa wajatihim. “Wahai, orang-orang yang beriman—sesuai dengan tuntutan keimananmu, bahwa—janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai awliya yaitu dengan cara mengikuti mereka, bersahabat dengan mereka, seperti mengikuti orang-orang beriman, jangan bergantung kepada mereka, jangan kamu percaya dengan rasa belas kasih dan kecintaan mereka dalam situasi peperangan.” Kemudian yang ketiga, Prof. Dr. Wahbah Azwahiri dalam At-Tafsir Munir judul lengkapnya At-Tafsir Al-Munir fil Aqidah wa Syariah wal Manhaj jilid tiga halaman 576, beliau menyatakan awliya artinya nushara wa hulafa tuawanunahum wa tawadhunahum. “Awliya adalah para penolong, para sekutu, aliansi, yang kamu berteman baik dengan mereka dan kamu mencintai mereka.” Oleh karena itu, sepanjang penelitian saya memang saya sendiri tidak menemukan kecuali di dalam kamus bahwa kata awliya maknanya adalah pemimpin. Oleh karena itu, lebih cenderung kepada bermakna teman setia. [next]
[33:54] HAKIM ANGGOTA 1: Teman setia ya?
[33:54] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Karena lebih sesuai dengan illatil hukmi, alasan pelarangan atau keharaman menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia.
[34:12] HAKIM ANGGOTA 1: Begitu ya. Kemudian, saya tanyakan tadi.. Ini ada berita acara dan ini sudah Saudara tanda tangani. Benar ya?
[34:21] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Benar.
[34:22] HAKIM ANGGOTA 1: Nah, kemudian, sehubungan dengan keahlian Saudara dalam hal agama Islam ya … usul fikih tadi, ini ada pertanyaan-pertanyaan yang dikaitkan dengan peristiwa konkret; peristiwa konkret itu menyangkut masalah pidato Terdakwa ini. Dan ini kalau tidak salah mulai dari pertanyaan nomor 15 dan seterusnya, … [35:00] ya. Ini, analisa Saudara ini melalui apa itu? Memakai apa itu? Keahlian Saudara kan di bidang fikih dan usul fikih. Tapi ketika disodorkan video.. Nah, ini. Nomor 15, misalnya. “Kepada Saudara Ahli diputarkan video dan ditunjukkan transkrip perkataan Saudara Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada tanggal 27 September 2016 saat melakukan kunjungan kerja bertempat di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Pulau Pramuka Kepulauan Seribu sebagai berikut.” Apakah waktu itu diperlihatkan/diperdengarkan?
[35:42] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Kebetulan, sebelum dipanggil saya sudah menonton.
[35:44] HAKIM ANGGOTA 1: Menonton..
[35:44] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Yang edisinya lebih lengkap, satu jam lebih.
[35:49] HAKIM ANGGOTA 1: Nah, terus kemudian kan banyak pertanyaan ya. Saya, yang saya tanyakan ini secara global saja. Saudara kan ahlinya ahli fikih dan usul fikih, bagaimana Saudara bisa menjelaskan dalam peristiwa konkret yang disodorkan kepada Saudara tadi? Misalnya, ada pertanyaan atau jawaban ya. “Saya meyakini tidak unsur kesengajaan—maksudnya ‘tidak ada’, mungkin—karena satu, dua, tiga.” Ini, apakah jawaban-jawaban Saudara itu Saudara gunakan pisau analisa Saudara sebagai ahli fikih tadi?
[36:31] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[36:32] HAKIM ANGGOTA 1: Nah, coba di-anu..
[36:32] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Karena di dalam usul fikih maupun fikih itu juga ada dalil yang namanya dalil akal.
[36:38] HAKIM ANGGOTA 1: Akal ya?
[36:39] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya. Itu perintah agama bahwa kita diwajibkan untuk menggunakan akal sehat kita di dalam menilai peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi untuk bisa ditarik kesimpulan-kesimpulan hukumnya.
[36:49] HAKIM ANGGOTA 1: Begitu ya menurut Saudara?
[36:50] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[36:54] HAKIM ANGGOTA 1: Iya, iya, saya juga … . Ini kan peristiwa konkret ya?
[36:59] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Peristiwa konkret.
[37:01] HAKIM ANGGOTA 1: Kemudian, apakah kepada Saudara waktu dimintai keterangan di Bareskrim itu diperlihatkan/diperdengarkan video secara utuh atau tidak?
[37:13] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Diperdengarkan dan diperlihatkan video secara utuh, kemudian juga ketika..
[37:18] HAKIM ANGGOTA 1: Durasinya berapa lama?
[37:19] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Cukup lama. Saya tidak ingat berapa lama, tapi cukup lama. Kemudian juga pada saat gelar perkara itu dipertontonkan yang lama, dan itu saya kira utuh seperti yang saya tonton sebelumnya. Kalau tidak salah 1 jam 48 menit..
[37:40] HAKIM ANGGOTA 1: Iya..
[37:41] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Kalau tidak salah.
[37:42] HAKIM ANGGOTA 1: Lalu, dari video yang durasinya 1 jam 48 menit itu mengapa Saudara cuma mengambil yang menit ke 24? Ini bagaimana nih?
[37:57] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Itu yang ditanyakan oleh Bareskrim.
[38:01] HAKIM ANGGOTA 1: Oleh penyidik. Setelah itu Saudara analisa, begitu. Kemudian, selain video yang 1 jam 48 menit tadi, apakah kepada Saudara selaku ahli diperlihatkan atau diperdengarkan video yang lain, pada kesempatan lain, di tempat lain, dalam suasana yang lain? Ada, enggak?
[38:30] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak..
[38:30] HAKIM ANGGOTA 1: Tidak.
[38:59] HAKIM ANGGOTA 1: Kata “pake”? Nah, itu. Tapi masih dalam waktu yang sama ya? Dipotong kata “pake”-nya tadi, kan gitu ya. Kemudian, di dalam waktu yang lain atau peristiwa yang lain, di acara yang lain, ada diperdengarkan/diperlihatkan kepada Saudara?
[39:19] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Maksud acara lain?
[39:20] HAKIM ANGGOTA 1: Misalnya, begini. Ini sebagai prolog aja ya. Dari keterangan saksi maupun ahli terdahulu, kata-kata seperti ini juga diucapkan di tempat.. Di Partai Nasdem atau apa gitu. Diperlihatkan kepada Saudara, enggak?
[39:35] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak.
[39:36] HAKIM ANGGOTA 1: Tidak ya?
[39:36] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak.
[39:38] HAKIM ANGGOTA 1: Jadi, yang diperlihatkan dan Saudara lihat hanya ini saja? Peristiwa yang di Pulau Pramuka saja?
[39:43] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, yang di Kepulauan Seribu.
[39:45] HAKIM ANGGOTA 1: Oh, gitu ya?
[39:45] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[39:46] HAKIM ANGGOTA 1: Pulau Pramuka ya. Selain video, apakah Saudara juga pernah melihat—ya untuk rujukan atau perbandingan, tentunya—buku dari Terdakwa atau yang ditulis oleh Terdakwa?
[40:01] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Melihat bukunya tidak, tetapi ditunjukkan oleh Pak.…dalam rapat
[40:06] HAKIM ANGGOTA 1: Begitu ya?
[40:07] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[40:07] HAKIM ANGGOTA 1: Kapan itu?
[40:10] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Belum lama. Hari Senin kemarin.
[40:13] HAKIM ANGGOTA 1: Senin kemarin?
[40:13] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[40:14] HAKIM ANGGOTA 1: Enggak, artinya, apakah waktu pemeriksaan di Bareskrim diperlihatkan juga?
[40:18] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak.
[40:19] HAKIM ANGGOTA 1: Tidak?
[40:19] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak.
[40:22] HAKIM ANGGOTA 1: Begitu ya. Rapat apa itu?
[40:27] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Bukan rapat sih, pertemuan untuk saya harus siap-siap di sini, memberitahu bahwa saya diundang untuk menjadi saksi ahli.
[40:46] HAKIM ANGGOTA 1: Jadi begini ya, Ahli. Namanya ahli itu siapa pun yang mengajukan tetap harus netral. Ya itu aja. Karena selama ini kan kadang-kadang ya tergantung yang mengajukan lah. Ini ya sudahlah..
[41:03] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya tetap netral, karena saya menyampaikan apa yang saya yakini kebenarannya berdasarkan pengetahuan yang saya miliki.
[41:11] HAKIM ANGGOTA 1: Makanya..
[41:11] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Dan tidak dipengaruhi oleh siapa pun, baik oleh Pak … atau yang lainnya.
[41:15] HAKIM ANGGOTA 1: Pada waktu pemeriksaan Saudara di Bareskrim, apakah kepada Saudara ditunjukkan juga mengenai apa pendapat dan sikap keagamaan MUI terhadap kasus ini?
[41:45] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Sikap dan pendapat keagamaan MUI ditanyakan.
[41:51] HAKIM ANGGOTA 1: Tapi Saudara melihat enggak wujud secara fisiknya gitu? Sikap dan pendapat keagamaan atau pendapat dan sikap keagamaan.
[42:00] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya lupa apakah ditunjukkan atau tidak, tetapi saya pernah membacanya.
[42:04] HAKIM ANGGOTA 1: Pernah membacanya?
[42:05] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Pernah membacanya secara lengkap pada saat Wasekjen MUI akan mengadakan acara bersama saya di ILC.
[42:17] HAKIM ANGGOTA 1: Begitu ya?
[42:17] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[42:19] HAKIM ANGGOTA 1: Lalu, apakah Saudara bisa memberikan pendapat terhadap sikap dan pendapat keagamaan MUI tersebut? Tertanggal 11 Oktober 2016 ini.
7. Ahli sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Tidak Dilibatkan dalam Perumusan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI
[42:41] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Bahwa sikap keagamaan tersebut dikeluarkan MUI, kalau tidak salah, ditandatangani oleh Ketua Umum MUI dan Sekretaris..
[42:53] HAKIM ANGGOTA 1: Sekretaris ya? Iya..
[42:59] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya tidak mengerti mengenai proses-prosesnya, karena saya tidak mengikutinya dan tidak diajak untuk mengikuti proses-proses tersebut.
[43:16] HAKIM ANGGOTA 1: Terus?
[43:19] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Yang Mulia, bagaimana..
[43:20] HAKIM ANGGOTA 1: Oh, iya. Itu kan prosesnya Saudara tidak mengikuti, tidak diajak, dan sebagainya..
[43:25] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tetapi membaca hasilnya.
[43:26] HAKIM ANGGOTA 1: Nah, hasilnya pernah membaca?
[43:29] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Pernah membaca.
8. Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI Memicu Masalah Menjadi Besar karena MUI tidak Melakukan Tabayun ke Basuki Tjahaja Purnama
[43:29] HAKIM ANGGOTA 1: Nah, yang ingin saya tanyakan secara substansi.. Pendapat Saudara ya. Saudara ini kan ahli ya, bukan saksi. Pendapat Saudara mengenai pendapat dan sikap keagamaan MUI tadi itu bagaimana? Ada enggak pendapat terhadap pendapat dan sikap keagamaan..
[43:54] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Yang saya ketahui bahwa sikap keagamaan MUI itu kemudian menjadi pemicu persoalan ini dan menjadi besar, karena kesimpulannya antara lain adalah menjadi dasar yang diajukan ke Bareskrim untuk menyatakan bahwa Pak Basuki Tjahaja Purnama melakukan penghinaan terhadap dua hal. Yang pertama, penghinaan terhadap Q.S. Al-Maidah ayat 51. Dan sekaligus menghina orang yang mengucapkan, yang menurut tafsir MUI adalah pasti ulama. Padahal Pak Basuki Tjahaja Purnama sama sekali tidak menjelaskan bunyi Q.S. Al-Maidah ayat 51, hanya menyebut kata orang. Kata orang itu adalah kata yang bersifat umum, mencakup semua bagian-bagian yang termasuk orang; bisa jadi ulama, bisa jadi orang biasa, bisa jadi oknum politisi, atau yang lainnya. Dan saya juga mendapat informasi bahwa dalam hal ini MUI tidak melakukan klarifikasi yang dimaksud adalah tidak melakukan crosscheck ke Kepulauan Seribu untuk menyelidiki peristiwa yang sebenarnya, dan tidak pula memanggil Pak Basuki Tjahaja Purnama untuk dimintai keterangan. Tiba-tiba saja sudah keluar pernyataan tersebut. [next]
[45:49] HAKIM ANGGOTA 1: Kok Saudara mengatakan menjadi pemicu besar? Maksudnya apa ini?
[45:54] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Menjadi pemicu besar karena kemudian dalam kenyataan saya sering melihat sendiri dengan mata juga di televisi juga di koran-koran—karena saya sering ke Jakarta, saya tinggal di Lampung—banyak sekali demonstrasi-demonstrasi yang dasarnya adalah digerakkan GNPF MUI, yang dasarnya antara lain adalah pernyataan dari MUI itu.
[46:25] HAKIM ANGGOTA 1: Iya, itu kesimpulan Saudara ya?
[46:26] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, bisa salah..
[46:28] HAKIM ANGGOTA 1: … . Nah, kemudian yang saya tanyakan tadi sebetulnya adalah apakah Saudara setuju atau tidak terhadap sikap dan pendapat keagamaan MUI tadi?
[46:44] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Ada poin-poin tertentu yang saya bisa menyetujuinya, misalnya poin-poin yang menyatakan bahwa keharmonisan antar umat beragama harus tetap terjaga, persatuan dan kesatuan harus tetap dijaga. Itu, kita setuju. Tetapi dalam hal memutuskan yang bisa merugikan orang lain tanpa melakukan tabayyun atau klarifikasi, itu adalah hal-hal yang tidak sependapat.
[47:11] HAKIM ANGGOTA 1: Tidak sependapat. Ya itu aja.
[47:16] HAKIM KETUA: Dilanjutkan Anggota.
* * *
[47:19] HAKIM ANGGOTA 2: Iya, saya lanjutkan. Tadi, Ahli mengatakan bahwa ahli agama Islam khususnya dalam bidang fikih dan usul fikih. Baik. Terkait dengan bidang fikih ini, kita ketahui bahwa dalam agama Islam itu ada perintah dan juga ada larangan. Dan kalau ada perintah dan larangan tentunya ini terkait dengan.. Di dalam agama Islam, ada berapa ketentuan atau berapa macam hukum? Coba disebutkan dan bisa dijelaskan.
[47:54] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Secara garis besar, hukum di dalam ilmu usul fikih dibagi menjadi dua terlebih dahulu. Pertama yang disebut dengan al-hukmu at-taklifi atau hukum yang terkait dengan pembebanan hukum dari Allah Swt. dan rasul-Nya kepada yang dibebani hukum atau kepada para mukallaf; disebut hukum taklifi. Yang kedua itu disebut dengan al-hukmu al-wadh’i (hukum penetapan). Hukum taklifi itu sendiri menurut mazhab usul fikih Asy-Syafiiyah—yang mencakup usul fikih mazhab Iman Syafi’i, mazhab Imam Malik bin An-Nas, dan mazhab Ahmad bin Hambal—itu dibagi menjadi lima. Yang pertama, berhukum wajib, yaitu suatu perintah yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan dicela atau mendapatkan dosa. Dan yang kedua adalah sunah, sesuatu yang dianjurkan untuk dikerjakan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan kalau ditinggalkan tidak berpahala atau tidak apa-apa. Dan yang ketiga berhukum haram, yaitu berasal dari larangan-larangan yang apabila dilanggar (dikerjakan) maka berdosa dan apabila ditinggalkan maka dia berpahala. Dan yang di bawah hukum haram adalah makruh, apabila dikerjakan tidak berpahala dan apabila ditinggalkan berpahala. Dan yang terakhir adalah mubah, boleh dikerjakan.
[49:34] HAKIM ANGGOTA 2: Boleh dikerjakan, boleh tidak. Begitu ya?
[49:36] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Boleh tidak.
[49:37] HAKIM ANGGOTA 2: Baik. Nah, di dalam Alquran itu sendiri banyak perintah dan juga banyak larangan. Untuk menilai apakah suatu perintah itu termasuk wajib atau sunah, demikian juga apakah larangan itu termasuk haram atau makruh, bagaimana? Apa ada kriteria untuk menilainya?
[50:05] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Di dalam Alquran, sebagai sumber utama hukum Islam dan demikian juga hadis Nabi, untuk menetapkan suatu hukum itu haram setidaknya ada lima metode. Yang pertama, bila Allah atau rasul-Nya menggunakan la nahyi atau la yang menunjukkan larangan; “jangan” dalam bahasa Indonesia. Yang kedua, lafdzu tahrim menggunakan lafal secara tegas mengharamkan. Contoh, hurrimat ‘alaykumul maytatu wa ad-damul wa lahmul hindzir (diharamkan bagi kamu untuk memakan bangkai, darah, dan daging babi), hurrimat alaykum ummahatukum (diharamkan bagi kamu untuk menikahi ibu-ibumu sendiri). Yang berikutnya, keempat, adalah apabila suatu perbuatan diancam dengan hukuman maka perbuatan yang diancamkan dengan hukuman itu dilarang untuk dilakukan. Contoh, zina, azzaniyatu wazzani fadhlidu kulla wahidin minhumami akajaldah (perempuan yang melakukan perzinahan dan laki-laki yang melakukan perzinahan, maka deralah masing-masing keduanya 100 kali dera). Cambukan 100 kali adalah merupakan ancaman hukum, maka perbuatan zina adalah merupakan perbuatan yang diharamkan. Wal ladzina yarmuna mukhshonah min an-nisa’a tsumma lam ya’tu bi ‘arba’ati syuhada fajliduhum tsamanina jaldah (para suami yang menuduh perempuan terhormat, istrinya sendiri, melakukan perbuatan zina namun tidak mampu menghadirkan empat orang saksi, maka cambuklah dia dengan 80 kali cambukan), maka qadzaf (menuduh) perempuan terhormat atau perempuan yang menjaga kehormatannya melakukan perzinahan tanpa bisa menghadirkan empat orang saksi adalah merupakan perbuatan haram. Yang kelima, apabila perbuatan tersebut dilaknat oleh Allah maka perbuatan tersebut diharamkan. Laknallahu ra’syi wal murtasyi war ra’isy (Allah melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi penghubung antara penyuap dan penerima suap), maka semua perbuatan tiga itu diharamkan. Demikian yang saya ketahui, Yang Mulia.[next]
[52:34] HAKIM ANGGOTA 2: Baik ya. Kalau kita kaitkan dengan ketentuan hukum dalam Islam, terus yang ada di dalam surat Al-Maidah 51 itu.. Di sini kan ada “jangan” ya? Ada larangan, “jangan.” La tattakhidzul yahuda wa an-nashara awliya. Kan begitu. Kalau dikaitkan dengan ketentuan dalam hukum Islam, ini masuk larangan yang bagaimana?
[53:09] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Itu termasuk larangan yang dapat disimpulkan dalam fikihnya berhukum haram.
[53:19] HAKIM ANGGOTA 2: Hukum haram ya?
[53:19] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Haram.
[53:21] HAKIM ANGGOTA 2: Jadi, di sini hukumnya haram?
[53:23] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Haram.
[53:24] HAKIM ANGGOTA 2: Tadi, Ahli..
[53:25] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Karena menolong orang Yahudi atau Nasrani untuk memusuhi dan berkhianat kepada Islam.
[53:40] HAKIM ANGGOTA 2: Kalau dikatakan larangan ini sifatnya haram, apakah terkait dengan Al-Maidah 51 ini ada ancaman yang disebutkan di dalam Alquran terkait apabila melanggar larangan ini?
[54:03] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya tidak melihat dalam ayat tersebut ada ancaman, namun ada celaan di situ yaitu kata dzalimin (orang-orang yang zalim).
[54:13] HAKIM ANGGOTA 2: Innallaha la yahdil qawma adz-dzalimin itu?
[54:15] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[54:15] HAKIM ANGGOTA 2: Tapi kalau dibaca terus ayat ini dengan ayat-ayat berikutnya, apakah di situ juga tidak ada larangan?
[54:28] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Maksudnya?
[54:29] HAKIM ANGGOTA 2: Al-Maidah ini kan tidak berhenti hanya sampai di sini..
[54:32] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Oh, iya.
[54:32] HAKIM ANGGOTA 2: Terkait dengan ayat ini kan ada kelanjutan proses..
[54:35] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[54:37] HAKIM ANGGOTA 2: Apakah di situ..
[54:37] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Bahkan, dengan ayat-ayat sebelumnya dan berkaitan dengan ayat sesudahnya juga berkaitan dengan ayat-ayat yang lain.
[54:48] HAKIM ANGGOTA 2: Jadi, menurut Ahli, ini sifatnya haram ya?
[54:50] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Haram.
[54:52] HAKIM ANGGOTA 2: Baik. Sekarang, terkait dengan pendapat dan sikap keagamaan MUI. Tadi, Ahli mengatakan termasuk di situ Wakil Ketua Komisi Fatwa..
[55:09] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Fatwa, betul.
[55:09] HAKIM ANGGOTA 2: Apakah di dalam proses lahirnya pendapat dan sikap keagamaan MUI ini melibatkan Komisi Fatwa?
[55:26] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya mendapat informasi melibatkan Komisi Fatwa, tetapi saya tidak termasuk yang mendapatkan undangan.
[55:32] HAKIM ANGGOTA 2: Tidak termasuk yang mendapatkan undangan?
[55:34] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[55:35] HAKIM ANGGOTA 2: Apakah yang lain diundang untuk ikut hadir? Karena di sini kan.. Ini struktur organisasi kan?
[55:42] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Betul.
[55:43] HAKIM ANGGOTA 2: Bahkan, ini untuk wakil ketua..
[55:45] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[55:48] HAKIM ANGGOTA 2: Apakah yang termasuk dalam jajaran pengurus inti di MUI harus diundang untuk bisa terlibat itu?
[55:59] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya tidak tahu siapa yang mengundang, tetapi saya tahunya saya tidak diundang; tidak ikut dilibatkan.
[56:06] HAKIM ANGGOTA 2: Begitu ya?
[56:06] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[56:10] HAKIM ANGGOTA 2: Tapi yang jelas memang tidak ikut terlibat ya?
[56:13] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak sama sekali.
[56:19] HAKIM ANGGOTA 2: Tadi, Ahli mengatakan pendapat dan sikap keagamaan MUI itu jadi pemicu. Tadi, apa dasar Ahli mengatakan ini jadi pemicu itu?
[56:35] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Karena kemudian tersebar luas dan kemudian terbentuk GNPF MUI.
[56:42] HAKIM ANGGOTA 2: Apakah Ahli tahu kalau sebelum adanya pendapat ini tuh, wah, sudah banyak yang melapor?
[56:50] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya bahkan tidak mengetahui ada yang melapor.
[56:55] HAKIM ANGGOTA 2: Nah, itu makanya. Tapi Ahli sudah menyimpulkan padahal Ahli kan tidak mengetahui. Ahli menyimpulkan bahwa pendapat inilah yang menjadi pemicu, bukan begitu?
[57:04] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Itu kaitannya dengan pertanyaan Bapak..
[57:07] HAKIM ANGGOTA 2: Lah, iya. Tadi ditanya oleh Hakim Anggota yang lain, Ahli menyimpulkan bahwa pendapat dan sikap keagamaan MUI inilah yang jadi pemicu sehingga demo-demo. Kan begitu tadi.
[57:22] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[57:23] HAKIM ANGGOTA 2: Tapi sementara Ahli tidak tahu bahwa sebelum pendapat ini keluar itu sudah banyak yang melapor.
[57:32] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya tidak mengetahui, tetapi..
[57:33] HAKIM ANGGOTA 2: Setelah sekarang mengetahui bahwa sudah banyak yang melapor, sebelum pendapat ini ada, apakah Ahli masih menyimpulkan bahwa ini menjadi pemicu?
[57:46] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Semakin menjadi pemicu.
[57:48] HAKIM ANGGOTA 2: Loh, kok aneh? Sudah banyak orang melapor ya. Orang banyak melapor ke Bareskrim, melapor secara resmi, melapor kepada pihak yang berwenang..
[57:59] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Bukan..
9. GNPF-MUI Semakin Memicu Masalah Kasus Basuki Tjahaja Purnama
[58:00] HAKIM ANGGOTA 2: Tanggal 7 itu sudah banyak yang melapor, sudah menuntut kepada pihak yang berwenang gitu loh. Baru ini keluar tanggal 11 Oktober. Lah, apakah Ahli masih berkesimpulan bahwa pendapat dan sikap keagamaan MUI ini yang menjadi pemicu? Sehingga terjadi kasus begini.
[58:23] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Semakin menjadi pemicu. Tetap, saya berpendapat semakin menjadi pemicu karena itu tersebar sehingga terbentuklah GNPF MUI.
[58:32] HAKIM ANGGOTA 2: Apakah kalau tidak ada pendapat dan sikap keagamaan MUI ini tidak ada perkara? Begitu kesimpulannya?
[58:40] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak semakin besar. Perkara tetap ada.
[58:43] HAKIM ANGGOTA 2: Perkara tetap ada?
[58:44] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, maksud saya tidak akan terjadi demo besar dengan ribuan atau mungkin ratusan ribu orang di Monas dan sebagainya. Itu yang saya maksud bahwa itu semakin menjadi pemicu.
[58:57] HAKIM ANGGOTA 2: Terus, kalau orang tahu.. Ini kalau menurut Ahli ya. Ini yang menjadi bahwa pidato Terdakwa ini kemudian sampai menyebar ya. Menurut pendapat Ahli itu dari mana asal mulanya? Kok bisa menyebar itu?
[59:20] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Dari Youtube.
[59:21] HAKIM ANGGOTA 2: Dari Youtube. Iya, dari Youtube. Setelah ada pihak yang menggugah itu? Buni Yani itu?
[59:30] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[59:37] HAKIM ANGGOTA 2: Baik. Nah, sekarang begini ya. Ini, kita.. Coba, sekarang mengenai kata-kata yang diucapkan dalam pidato Terdakwa ya. Di sini, ada kalimat “Jangan percaya sama orang.” Coba, bisa dicerna di situ ya. “Jangan percaya sama orang. Bisa saja kan dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak pilih saya, iya kan? Dibohongin pake surat Al-Maidah 51 macam-macam itu.” Di sini jelas yang disebut adalah surat Al-Maidah 51 macam-macam itu ya. Jadi, di sini menyebut surat Al-Maidah ayat 51. Di sini, kalau menurut Ahli, yang dimaksud “orang” di sini tuh maksudnya siapa?
[60:52] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Untuk mengetahui yang dimaksud “orang” karena yang disebut adalah umum tentu orang yang mengucapkannya lah yang paling mengetahui siapa yang dimaksud “orang” itu. Dan inilah yang harus ditanyakan kepadanya.
[61:04] HAKIM ANGGOTA 2: Jadi, yang jelas orang yang menyampaikan Al-Maidah..
[61:08] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Orang yang menyampaikan Q.S. Al-Maidah ayat 51 untuk tujuan kepentingan politik atau untuk menyerang orang lain.
[61:17] HAKIM ANGGOTA 2: Kalau misalnya ada orang menyampaikan surat Al-Maidah 51 itu, katakanlah, entah itu calon lain ataupun misalnya dalam situasi kampanye. Apa tidak boleh? Kalau misalnya ya, entah itu dalam rangka kampanye untuk anggota legislatif ataukah untuk pemilihan kepada daerah..
[61:49] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tujuan diturunkannya Alquran adalah hudal li in-nas (untuk menjadi petunjuk bagi manusia), hudal lil muttaqin (untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa), bukan untuk kemenangan diri sendiri dalam politik. Oleh karena itu, penggunaan ayat-ayat Alquran itu seringkali tidak pada tempatnya kalau itu politik. Terbukti, saya masih sangat ingat ketika ada orang PPP pada masa lalu, pada masa orde baru, menggunakan ayat Alquran untuk menyerang orang-orang di Partai Golkar. Wa la taqraba hadzihisy-syajarah fa takuna min adz-dzalimin. Ayatnya benar, tetapi ditempatkan secara tidak benar untuk menyerang lawan politik. Maka yang demikian ini tidak diperkenankan karena tidak sesuai dengan tujuan diturunkannya Alquran. “Janganlah kamu berdua mendekati pohon ini. Nanti, kamu berdua menjadi orang yang zalim.” Padahal kalau ulama yang mengerti ilmu tafsir akan mengetahui bahwa wa la taqraba yang dimaksud di situ adalah larangan kepada Nabi Adam dan Hawa untuk tidak mendekati pohon khuldi. Namun pengucap dalam kampanye dan sebagainya menunjukkan kata hadzihisy-syajarah itu sebagai pohon beringin. Maka yang demikian ini tidak bisa dibenarkan hingga kapan saja.[next]
[63:27] HAKIM ANGGOTA 2: Baik ya. Itu terkait dengan pohon ya? Jadi, pohon yang seharusnya pohon khuldi di surga tapi dipergunakan untuk pohon beringin?
[63:36] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[63:37] HAKIM ANGGOTA 2: Baik. Nah, sekarang terkait kembali kepada Al-Maidah 51. Tadi, Ahli juga mengatakan bahwa Alquran itu diturunkan hudal li in-nas, hudal lil muttaqin, dan itu berlaku sejak diturunkan sampai Hari Akhir?
[63:57] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Betul.
[63:57] HAKIM ANGGOTA 2: Sampai Hari Kemudian, sampai akhirat, sampai kehidupan akhirat?
[64:02] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Betul.
[64:02] HAKIM ANGGOTA 2: Berarti itu berlaku tidak hanya di dunia ini ya?
[64:05] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Betul.
[64:06] HAKIM ANGGOTA 2: Berarti berlaku abadi?
[64:09] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Abadi.
[64:10] HAKIM ANGGOTA 2: Nah, kalau seseorang misalnya dalam rangka untuk pemilihan—baik itu anggota legislatif maupun pemilihan kepala daerah, kalau orang—menyampaikan ayat ini sepanjang itu tidak digunakan untuk menyerang atau menghina lawan-lawannya, apa itu tidak boleh?
[64:34] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Dalam kampanye?
10. Al-Ma’idah 51 Tidak Ada Kaitannya dengan Kampanye dan Pemilihan Pemimpin
[64:35] HAKIM ANGGOTA 2: Iya, misalnya memberi.. Katakanlah, mengingatkan kepada sesama orang beriman. Ini, ada ayat di Al-Maidah 51. Kalau orang beriman dilarang, misalnya..
[64:50] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Q.S. Al-Maidah ayat 51 tidak ada kaitannya dengan kampanye apa pun, tidak ada kaitannya dengan pemilihan pemimpin..
[65:00] HAKIM ANGGOTA 2: Memang, memang tidak ada kaitannya..
[65:01] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak ada kaitannya.
11. Al-Ma’idah 51 untuk Mengingatkan Tidak Dilarang, yang Dilarang untuk Menyerang dan Merendahkan Orang Lain
[65:02] HAKIM ANGGOTA 2: Hanya ini.. Katakanlah, wong ini juga untuk.. Alquran katanya hudal li in-nas, berarti untuk segala aspek kehidupan. Kan begitu. Dalam situasi kampanye, untuk mengingatkan sesama orang beriman, sesama orang Islam, ini ditunjukkan. Toh kenyataannya banyak orang yang tidak tahu ayat seperti ini kan? Begitu. Mungkin, Ahli bisa tanya kepada masyarakat mungkin banyak yang tidak tahu ayat ini. Walaupun sering ngaji baca Alquran ya, karena banyak yang tidak memahami terjemahan atau tafsirnya.
[65:39] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Yang menyampaikan Q.S. Al-Maidah ayat 51 untuk memberitahu orang lain atau untuk mengingatkan itu tidak dilarang, yang dilarang adalah untuk menyerang orang lain dan merendahkan orang lain.
[65:48] HAKIM ANGGOTA 2: Makanya tadi kan saya tanya, kalau ini disampaikan.. Namanya sesama orang beriman, sesama orang Islam itu kan wa tawa shawbil haq wa tawa shawbi ish-shabr. Kan begitu ya? Nah, ini kalau saling mengingatkan. Ini ada ayat begini. Ini, kita sebaiknya milih yang sesama beriman. Misalnya begitu. Jangan memilih yang keimanannya lain. Selama tidak menyerang, tidak menghina, tidak menghujat yang lawan-lawannya, apa itu tidak boleh?
[66:31] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Jika melihat dari sababun nuzul (sebab turun)-nya dan juga jika menganalisis dari sisi illatul hukmi (alasan hukum)-nya, hukum pelarangan, maka sungguh ayat tersebut tidak patut untuk ditempatkan di dalam kampanye. Karena kampanye yang terbaik adalah adu mutu pada visi-misi program dan pencairan solusi.
[66:56] HAKIM ANGGOTA 2: Memang benar ya, memang benar. Artinya, saya ingin tahu saja, kepada Ahli ini karena Ahli kebetulan ahli agama. Kan seperti itu. Tadi sudah dikatakan bahwa Quran itu hudal li in-nas dan itu berlaku sepanjang masa, di dalam situasi kampanye maupun tidak kampanye, dalam segala aspek kehidupan. Kan begitu. Iya kan?
[67:19] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya jawab dengan tegas tidak boleh.
[67:21] HAKIM ANGGOTA 2: Jadi?
[67:22] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Hanya dua ayat Alquran yang boleh digunakan untuk kampanye, yaitu fashtabiqul khairat dan fal yatana fashil mutana fishun; “Hendaklah kamu/kalian semua berlomba-lomba dalam kebaikan” itu pun dalam makna adu mutu pada visi-misi program dan pencarian solusi. Yang kedua adalah fal yatana fashil mutana fishun, “Dan hendaklah kalian saling berlomba-lomba juga dalam kebaikan.” Hanya dua itu, sepengetahuan Ahli, yang diperkenankan untuk kampanye. Selainnya mengatakan ayat Alquran tidak pada tempatnya.
[68:00] HAKIM ANGGOTA 2: Oke. Karena banyak yang memaknai awliya itu.. Ya tadi Ahli kebetulan memaknai “teman.” Nah, tapi banyak juga para ahli agama yang memaknai itu “pemimpin” dan itu memang tidak ada monopoli makna..
[68:23] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Betul.
[68:24] HAKIM ANGGOTA 2: Jadi, memang tidak boleh saling menyalahkan. Kan begitu. Yang memaknai teman setia juga tidak pada tempatnya menyalahkan yang memaknai pemimpin, begitu juga sebaliknya. Kan begitu.
[68:36] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, saya tidak menyalahkan.
[68:38] HAKIM ANGGOTA 2: Nah, kebetulan ini yang memaknai pemimpin. Lah, karena Alquran ini kan berlaku sepanjang masa..
[68:45] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[68:46] HAKIM ANGGOTA 2: Dalam situasi apa pun bisa digunakan. Kan begitu, sepanjang itu terkait konteksnya..
[68:51] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Baik. Yang Mulia bertanya kepada saya, boleh atau tidak menggunakan ayat itu dalam konteks kampanye, saya menjawab tidak boleh.
[68:58] HAKIM ANGGOTA 2: Tidak boleh?
[68:59] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[68:59] HAKIM ANGGOTA 2: Ahli tidak..
[69:00] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tapi kalau mereka.. Ya itu tadi, Alquran tidak digunakan untuk tujuan itu.
[69:07] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Jadi, tidak boleh. Jadi, kalau mengingatkan.. Misalnya, dalam suatu pemilihan ya. Pemilihan ini bisa pemilihan presiden, bisa pemilihan anggota legislatif, bisa pemilihan gubernur, bahkan sampai pemilihan RT atau pemilihan pengurus suatu organisasi. Ini yang memaknai pemimpin kan.. Boleh-boleh saja kan? Ini, orang..
[69:31] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Ini kan pertanyaannya kepada saya, boleh atau tidak, saya bilang tidak boleh..
[69:34] HAKIM ANGGOTA 2: Misalnya, dalam rangka pemilihan. Apa pun pemilihan itu, baik ketua organisasi, pemilihan ketua RT, sampai pada presiden maupun anggota legislatif. Kalau misalnya ini digunakan untuk mengingatkan sesama agama, sesama orang-orang beriman, ini tidak boleh menurut Ahli?
[69:56] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak boleh.
[69:57] HAKIM ANGGOTA 2: Tidak boleh. Baik, terkait kepada pernyataan yang pernah diucapkan oleh Terdakwa mengenai “dibohongin” tadi. Di sini “dibohongin” langsung dikaitkan dengan Al-Maidah ya. Nah, kalau ini dikatakan dibohongi pakai Al-Maidah, menurut pemahaman Ahli, ada orang yang menggunakan Al-Maidah untuk membohongi?
[70:31] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak, karena itu adalah potongan saja dari keseluruhan video. Oleh karena itu, kalau kalimat tersebut hanya sepenggal maka akan menghilangkan konteks sesungguhnya.
12. Pidato Basuki Tjahaja Purnama Soal Al-Ma’idah 51 untuk Meyakinkan Audiens Mengenai Program bukan Bermaksud untuk Menghinakan
[70:48] HAKIM ANGGOTA 2: Baik. Kalau memang begitu, coba dijelaskan bagaimana maksud pemahaman Ahli terkait dengan adanya kalimat “dibohongin pake Al-Maidah”?
[70:58] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Kata tersebut kemungkinan besar dimaksudkan untuk meyakinkan audiens mengenai program-program pemerintah, dalam hal ini beliau sebagai gubernur pada waktu itu, di Kepulauan Seribu. Jadi, tidak ada maksud untuk menghinakan..
[71:18] HAKIM ANGGOTA 2: Oke. Menurut Ahli, berarti ini untuk meyakinkan audiens..
[71:21] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Untuk meyakinkan..
[71:21] HAKIM ANGGOTA 2: Supaya mau menerima program yang ditawarkan?
[71:26] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Betul.
[71:28] HAKIM ANGGOTA 2: Kalau memang tujuannya untuk meyakinkan audiens untuk menerima program yang ditawarkan, kenapa harus menyebut Al-Maidah? Apa tidak bisa dilakukan tanpa menyebut “dibohongi pakai Al-Maidah”?
[71:42] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Itu sebaiknya ditanyakank kepada..
13. Ucapan Basuki Tjahaja Purnama Soal Al-Maidah 51 Terkait Pengalaman Masa Lalunya Tidak Dimaksudkan untuk Penistaan
[71:43] HAKIM ANGGOTA 2: Lah, iya. Menurut alur pemikiran Ahli ya, pendapat Ahli, kenapa ini harus menyebut-nyebut Al-Maidah? Kenapa gitu loh. Apakah dipikirkan oleh Ahli, kenapa kok begini? Ini kira-kira kenapa?
[71:56] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Karena menurut.. Kira-kira, menurut saya itu kemungkinan terlintas di dalam pikirannya karena pengalaman-pengalamannya pada masa yang lalu.
[72:06] HAKIM ANGGOTA 2: Menurut Ahli itu karena punya pengalaman terkait masalah ini?
[72:09] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, terkait.. Punya pengalaman terkait surat Al-Maidah 51 tetapi disebut tanpa dimaksudkan untuk melakukan penistaan.
[72:30] HAKIM KETUA: Dilanjutkan, silakan.
* * *
[72:32] HAKIM ANGGOTA 3: Saya lanjutkan kepada Ahli, di awal penjelasan tadi disinggung tentang tafsir yang diterbitkan oleh Kementerian Agama. Ada dua versi, dulu dan sekarang. Apakah Ahli bisa menjelaskan kenapa tafsir dari Kementerian Agama tentang awliya itu dulu dan sekarang berbeda?
[72:59] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya tidak sampai mampu meneliti tentang siapa yang menafsirkan pada masa lalu, kata awliya diartikan sebagai pemimpin; saya tidak mengerti mengapa kemudian diubah. Saya kira perubahan itu biasanya dilakukan karena setelah membandingkan dengan banyak sekali tafsir, kemudian dirasa tidak tepat, oleh karena itu kemudian diganti dengan “teman setia.”
[73:22] HAKIM ANGGOTA 3: … ya?
[73:22] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya kira itu.
[73:24] HAKIM ANGGOTA 3: Kemudian, menurut tafsir yang terdahulu berarti “teman setia,” terbitan terbaru dari Kementerian Agama. Apakah Ahli juga meneliti dengan terbitnya tafsir yang baru bagaimanakah naskah tafsir yang lama?
[73:49] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya tidak meneliti tentang naskah tafsir lama.
[73:52] HAKIM ANGGOTA 3: Tidak meneliti. Itu tahun berapa kalau memang Ahli bisa tahu perubahan itu tahun berapa jadinya?
[74:00] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak tahu.
[74:01] HAKIM ANGGOTA 3: Tidak tahu juga. Kemudian tentang itu juga, apakah Ahli juga membaca atau mungkin mengetahui dengan diterbitkannya tafsir baru Kementerian Agama ada pernyataan tafsir lama tetap berlaku atau dinyatakan tidak berlaku?
[74:24] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Juga tidak mengetahui.[next]
14. Dilarang Menjadikan Yahudi dan Kristen sebagai “Teman Setia” Apabila Memusuhi dan Mengkhianati Orang Islam
[74:27] HAKIM ANGGOTA 3: … . Baik ya. Yang pasti, tafsir yang lama sudah beredar dulu dan sudah diketahui orang ketika itu. Demikian ya. Kemudian, saya ingin masuk kepada pendapat Ahli di dalam berita acara yang nomor 12. Di dalam berita acara nomor 12. Yang ingin saya tanyakan bagaimana isi surat Al-Maidah ayat 51, di sini pendapat Ahli intinya harus dibatasi oleh alasan hukum pada konteks tertentu yang memiliki kesamaan illat. Demikian ya, Pak? Ahli ya. Bisa enggak dijelaskan maksud kesamaan illat itu bagaimana?
[75:28] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Bahwa di dalam setiap larangan itu pasti Allah menyebutkan larangannya. Illat (alasan hukum) itu bisa tertera secara tegas yang disebut dengan al-illat al-manshushah, ya teks yang disebutkan larangannya, dan ada kalanya hanya bisa dipahami oleh para ahli ilmu usul fikih atau oleh para ulama yang ahli di bidangnya, yaitu yang disebut dengan al-illat al-mustambathaf, suatu alasan hukum yang perlu digali dari suatu teks yang telah menyebutkannya. Yang dimaksud dengan bahwa Q.S. Al-Maidah yaitu dari ayat ba’duhum awliya’u ba’din atta’lil linnahyi merupakan alasan dari sebuah larangan. Itu dijelaskan di dalam Q.S. Al-Maidah ayat 51. Para Ahli tafsir menyepakati bahwa alasan pelarangannya itu adalah karena ghayatul ‘adawah, ada puncak permusuhan atau permusuhan yang teramat sangat, wal khianah, dan adanya kemungkinan terjadinya pengkhianatan karena berteman akrab atau berteman setia/berteman dekat ya saling tolong antara orang beriman yang memiliki sifat munafik pada situasi peperangan. Yang demikian ini hanya bisa diterapkan dalam situasi-situasi yang sama untuk bisa ditarik kesimpulan hukum atas kasus baru, misalnya, terjadi peperangan lagi antara orang Islam dan orang Nasrani atau dengan orang Yahudi. Maka pertemanan dekat itu patut dicurigai, patut diingatkan dengan Q.S. Al-Maidah ayat 51.
[77:20] HAKIM ANGGOTA 3: Sudah demikian?
[77:21] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Demikian.
[77:21] HAKIM ANGGOTA 3: Jadi, ini dimaksudkan kan begini. Alasan hukum pada konteks tertentu. Jadi, memang Ahli sudah menjelaskan dulunya itu ada peperangan dan pengkhianatan. Nah, sekarang kan kita hidup pada zaman saat ini. Kemudian, ada persoalan penerapan Al-Maidah 51.
[77:39] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Betul.
[77:41] HAKIM ANGGOTA 3: Yang saya tanyakan konteks tertentu pada masa kini tuh yang seperti apa?
[77:44] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak terjadi.
[77:46] HAKIM ANGGOTA 3: Tidak terjadi?
[77:46] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Maka ayat ini tidak bisa diberlakukan.
[77:50] HAKIM ANGGOTA 3: Demikian ya. Kemudian, itu tadi kan masih bersambung lagi. Yang nomor 12 tadi masih bersambung lagi di halaman belakangnya. Di situ tertulis pendapat Ahli, “Maka apakah mungkin apabila Q.S. Al-Maidah ayat 51 diperlakukan dengan … .”
[78:14] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, … .
[78:15] HAKIM ANGGOTA 3: Ya itu kan mestinya ada bersambung penjelasan tadi dengan yang … pada saat itu. Ini kan terkait dengan konteks tertentu dan batasan. Yang seperti apa batasannya?
[78:28] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Batasannya kalau terjadi permusuhan terhadap Islam dan kaum muslimin oleh orang Yahudi dan oleh orang Nasrani atau oleh orang yang beragama lain.
[78:39] HAKIM ANGGOTA 3: Jadi, itu batasannya?
[78:40] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[78:40] HAKIM ANGGOTA 3: Jadi, kalau memang dalam keadaan damai sekarang tidak bisa diterapkan seperti itu?
[78:42] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak bisa diterapkan, karena tidak ada kaitannya sama sekali dengan pemilihan pemimpin, menurut Ahli.
[78:48] HAKIM ANGGOTA 3: Oh, seperti itu?
[78:48] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Betul.
[78:50] HAKIM ANGGOTA 3: … pendapat Ahli, gitu ya. Kemudian kembali ke yang angka 12. Di sini Ahli menyebutkan yang di atas. Kata awliya yang banyak makna, susunan makna ini di dalam kamus bahasa Arab disebutkan beberapa di sini. Kemudian juga kandungan isi Al-Maidah 51 disebutkan oleh Ahli melarang orang-orang yang beriman mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani … [79:21] atau awliya di sini. Dikaitkan dengan pengertian dalam kamus bahasa Arab ya, Saudara Ahli, ada beberapa: penguasa, kekasih, tetangga, teman, sekutu, dan … [79:34]. Kapan kata awliya sebagai penguasa bisa dimaksudkan atau … sebagai awliya dalam ayat Al-Maidah? Kapan juga sebagai al-khalid, kapan sebagai … . Bisa enggak dijelaskan?
[79:56] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Saya tidak bisa menjelaskan kapannya, karena ternyata para ahli tafsir mengutip salah satu makna, harus menerima makna bahasa Arab dalam kamus untuk menafsirkan ayat Alquran yang berbahasa Arab.
[80:11] HAKIM ANGGOTA 3: Jadi..
[80:12] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak bisa disebutkan kapannya.
[80:15] HAKIM ANGGOTA 3: Jadi, kalau menurut Ahli itu tidak bisa di… . Jadi, pengertian awliya ketika terjadi peperangan itu adalah sebagai ash-shadiq (teman) atau … . Kemudian, dalam keadaan yang sekarang damai sebagai apa atau dalam keadaan tertentu sebagai apa tidak ada seperti itu?
[80:35] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak.
[80:35] HAKIM ANGGOTA 3: Tidak?
[80:36] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tidak, karena memang sababun nuzul-nya itu berkaitan dengan situasi-situasi tidak damai.
[80:48] HAKIM ANGGOTA 3: Saya kira cukup.
[80:51] HAKIM KETUA: Dilanjutkan Anggota, silakan.
* * *
[80:52] HAKIM ANGGOTA 4: Iya, sedikit saja. Tadi Ahli mengatakan bahwa dalam konteks kekinian, surat Al-Maidah ayat 51 tidak bisa diterapkan. Kalau enggak salah begitu tadi ya?
[81:06] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[81:07] HAKIM ANGGOTA 4: Sekarang begini. Ketika seorang ulama atau siapa pun menceramahkan atau membahas.. Ini dulu nih, jauh sebelum ada kampanye atau ada apa. Tapi ya itu dibahas dalam pengajian atau dalam apa, artinya. Tapi walaupun tadi.. Ini, saya baca ya. Bahwa yang disebut Alquran adalah yang berbahasa Arab.
[81:35] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[81:36] HAKIM ANGGOTA 4: Kan begitu?
[81:36] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Betul.
[81:37] HAKIM ANGGOTA 4: Terjemahannnya bukan. Nah, ini kalau enggak salah seperti itu.
[81:40] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Betul.
[81:41] HAKIM ANGGOTA 4: Iya, sekarang.. Ya sudah. Lalu, Pak Kiai atau ulama ini membahas tentang surat Al-Maidah yang ada di Alquran; entah diartikan pemimpin, teman setia, dan sebagainya. Akhirnya suatu saat ada kampanye. Ini sudah jauh sebelumnya. Ini konteks kekinian. Apakah ulama atau siapa pun yang tadi membahas tentang itu bisa dikatakan berbohong? Membohongi yang ikut pengajian ataupun yang.. Ya umatnya, tentunya.
[82:26] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Untuk menafsirkan Alquran itu harus memiliki ilmu yang mendalam.
[82:31] HAKIM ANGGOTA 4: Enggak, saya kira ini begini..
[82:32] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Karena..
[82:33] HAKIM ANGGOTA 4: Tidak bisa penafsiran, Pak. Saya tidak ini penafsiran. Yang jelas, itulah yang ada. Artinya, mereka itu ya yang membahas tentang Alquran. Alquran tidak perlu menafsirkan dengan yang tadi terakhir, katakanlah begitu. Yang terakhir tadi Kementerian Agama, kan itu diterima sekarang; terjemahan atau penafsiran atau apa pun namanya. Yang jelas, Alquran dalam keadaan berbahasa Indonesia. Alquran dalam bahasa Indonesia kan?
[83:08] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Alquran dan terjemahnya.
[83:11] HAKIM ANGGOTA 4: Saya tidak tahu bentuknya, apakah Alquran dulu baru ada terjemahannya. Yang jelas, terjemahan yang dikeluarkan oleh..
[83:19] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Departemen Agama.
[83:19] HAKIM ANGGOTA 4: Departemen Agama. Itulah yang dibahas oleh, misalnya, ulama termasuk Pak Kiai juga.. Bapak ini kan Pak Kiai juga, misalnya. Saya tidak menuduh.. Misalnya, di pengajian juga membahas tentang itu, bahwa ada surat Al-Maidah 51 yang berbunyi seperti yang di dalam Kementerian Agama. Kemudian, suatu saat ada kampanye atau apa atau ada orang lain yang mengatakan “Oh, itu berbohong tuh,” misalnya begitu. Apa boleh mengatakan begitu? “Oh, itu Pak Kiai yang membahas tentang surat Al-Maidah itu atau yang membacakan Al-Maidah yang di dalam itu bohong tuh.” Kalau begitu, bagaimana?
[84:06] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Kalau menuduh harus bisa membuktikan. Kalau menuduh orang lain berbohong, maka dia harus membuktikan bahwa dia betul-betul berbohong.
15. Al-Quran Itu Benar, tapi Bisa Dipakai untuk Sesuatu yang Tidak Benar
[84:15] HAKIM ANGGOTA 4: Lah, iya..
[84:15] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Karena boleh jadi suatu ayat itu benar tetapi ditujukan untuk.. Istilahnya, qawlu haqqin urida bihi il-batil (suatu ucapan yang benar itu bisa ditujukan untuk sesuatu yang tidak benar)..
[84:32] HAKIM ANGGOTA 4: Tidak..
[84:32] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Tergantung pada … .
[84:33] HAKIM ANGGOTA 4: Tidak ada maksud apa-apa, ini. Karena memang pengajian membahas tentang itu.
[84:37] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Kalau pengajian membahas Al-Maidah 51, tidak ada masalah. [next]
[84:41] HAKIM ANGGOTA 4: Ya itu. Lalu, suatu saat.. Kan bunyinya seperti itu, seperti yang di Kementerian Agama. Nah, suatu saat ada orang lain mengatakan, “Nah, Saudara dibohongi pakai itu, pakai ayat Al-Maidah ayat 51.” Hanya itu aja kalimatnya. Bagaimana itu menurut Ahli? Enggak ada konteks apa-apa. Hanya begitu saja. Ahli gimana?
[85:02] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Ya jangan mudah percaya.
[85:06] HAKIM ANGGOTA 4: Iya, jangan mudah percaya dengan siapa? Dengan orang yang mengatakan..
[85:09] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Dengan berita, dengan berita bahwa kiai itu berbohong. Jangan mudah percaya.
[85:14] HAKIM ANGGOTA 4: Oh, begitu ya?
[85:15] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[85:16] HAKIM ANGGOTA 4: Jadi, ketika orang itu betul mengucapkan seperti itu, apa pendapat Ahli? Mengatakan orang yang menyampaikan atau orang yang membacakan, misalnya, Alquran dari Departemen Agama. Nah, itu dikatakan berbohong. Itu, bagaimana menurut pendapat Ahli? Kan hanya membacakan yang dari Kementerian Agama, cuma membacakan Al-Maidah ayat 51..
[85:51] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Harus dilihat tujuannya. Suatu ucapan itu memiliki tujuan..
[85:56] HAKIM ANGGOTA 4: Kalau hanya menyampaikan bahwa itu pemahaman, bahwa ini perlu.. Ini pengajian. Ya tujuannya tentu orang supaya tahu ini ayat Alquran terdiri dari ini, ini, ini, bunyinya begini, kalau terjemahannya ini. Kan seperti itu aja.
[86:13] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya, itu enggak masalah.
[86:14] HAKIM ANGGOTA 4: Terus, kalau ada orang yang mengatakan “Oh, itu dibohongin pake yang dari Departemen Agama” misalnya. Itu, bagaimana orang itu? Menurut Ahli, boleh enggak mengatakan bahwa yang membacakan Alquran yang dari Departemen Agama itu dikatakan berbohong?
[86:33] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Ucapannya bisa benar, ucapannya juga bisa salah.
[86:36] HAKIM ANGGOTA 4: Enggak, ucapan siapa? Ini, orang ini gimana?
[86:38] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Ucapan orang yang memberitahu bahwa itu berbohong.
[86:43] HAKIM ANGGOTA 4: Bukan, orang yang mengatakan orang yang membacakan ini berbohong itu bagaimana menurut Ahli? Hanya itu aja. Sudah benar, misalnya. Bunyinya sudah betul, ini. Misalnya, saya menyampaikan ayat 51 surat Al-Maidah bunyinya begini, begini.
[87:05] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Kalau konteksnya seperti itu, yang mengatakan bohong itu yang salah.
[87:10] HAKIM ANGGOTA 4: Oh, gitu?
[87:11] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya. Jika konteksnya seperti itu, hanya sekadar menyampaikan, tidak ada maksud berbohong dan itu hanya untuk pengajian saja.
[87:18] HAKIM ANGGOTA 4: Iya, enggak.. Tadi, berpendapat bahwa orang yang mengatakan itulah yang keliru atau salah.
[87:23] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya..
[87:23] HAKIM ANGGOTA 4: Sekarang, begini..
[87:24] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Karena konteksnya.
16. Maksud “Dibohongi’ adalah Konteks Pemilihan Gubernur, karena Al-Ma’idah 51 Tidak Ada Kaitannya dengan Pemilihan Gubernur
[87:25] HAKIM ANGGOTA 4: Sekarang, begini. Apakah Ahli bisa mencontohkan orang yang membohongi orang lain pake surat Al-Maidah ayat 51? Ada enggak? Bisa enggak memberikan contoh? Misalnya, saya membohongi orang pake surat Al-Maidah 51. Nah, kalimatnya itu bisa enggak memberi contoh, dalam konteks apa saya membohongi orang memakai surat Al-Maidah 51 itu?
[87:54] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Dalam konteks pemilihan gubernur.
[87:57] HAKIM ANGGOTA 4: Kenapa? Kenapa saya..
[88:00] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Karena ayat tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan pemilihan gubernur.
[88:06] HAKIM ANGGOTA 4: Oh.. Jadi, pendapat Ahli, orang yang menyampaikan itu.. Karena ayat itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan gubernur?
[88:15] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Betul.
[88:15] HAKIM ANGGOTA 4: Pengertiannya di situ?
[88:16] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[88:18] HAKIM ANGGOTA 4: Itu yang disebut membohongi?
[88:18] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Iya.
[88:21] HAKIM ANGGOTA 4: Iya, terima kasih.
* * *
[88:28] HAKIM KETUA: Dari Majelis sudah cukup. Silakan, Penasihat Hukum..
[88:32] PENASIHAT HUKUM 1: Minum dulu, Pak Kiai..
[88:33] AHLI 2 (A. ISHOMUDDIN): Minta izin, Majelis..
[88:33] HAKIM KETUA: Silakan..
Bersambung ke pertanyaan-pertanyan dari Tim Penasehat Hukum Basuki Tjahaja Purnama.
Sumber: SuaraIslam.co
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon