![]() |
Hasil Survey DPR Lembaga Terkorup, Fadli Zon Wanti-wanti Soal Korupsi E-KTP Pegang Fakta Persidangan |
Hasil survei Global Corruption Barometer ini terkonfirmasi dengan banyaknya kasus korupsi, seperti pengadaan kartu tanda penduduk elektronik yang diduga juga melibatkan anggota DPR.
Acara peluncuran hasil Global Corruption Barometer 2017 berlangsung di Jakarta, Selasa (7/3/2017).
Kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemberantasan korupsi meningkat meski persepsi terhadap tindak pidana korupsi juga meningkat meski persepsi terhadap tindak pidana korupsi juga meningkat.
Global Corruption Barometer (GCB) merupakan potret kinerja pemberantasan korupsi berdasarkan persepsi dan pengalaman masyarakat di negara masing- masing.
Survei GCB dilakukan di 16 negara Asia Pasifik pada Juli 2015-Januari 2017 kepada 22.000 responden. Untuk Indonesia, survei berlangsung 26 April-27 Juni 2016 dengan 1.000 responden di 31 provinsi.
Hasil survei tersebut, untuk Indonesia, DPR dianggap paling korup. "Penilaian ini konsisten, setidaknya selama tiga tahun terakhir," kata peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko saat memaparkan hasil survei GCB, Selasa (7/3/2017) di Jakarta.
Hasil survei itu terkonfirmasi antara lain dengan adanya sejumlah anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi.
Salah satunya adalah kasus pengadaan KTP elektronik (KTP-el) tahun anggaran 2011-2012 yang sedianya akan disidangkan pada 9 Maret mendatang.
Sebelumnya, pada tahun 2016, sejumlah anggota DPR juga diproses hukum karena menerima suap terkait proyek infrastruktur di Maluku.
Para anggota DPR itu, yang sebagian di antaranya lalu diberhentikan oleh partainya sebagai anggota legislatif dan anggota partai, adalah Damayanti Wisnu Putranti, Budi Supriyanto, Andi Taufan Tiro, dan Musa Zainuddin.
Tahun 2013, sejumlah anggota legislatif juga diproses hukum karena kasus korupsi pembangunan proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Selain DPR masih dinilai sebagai lembaga terkorup, hasil survei GCB 2017 menunjukkan, tingkat kepercayaan publik terhadap langkah pemerintah dalam pemberantasan korupsi mencapai 65 persen. Capaian ini naik signifikan dibandingkan GCB 2013, di mana hanya 16 persen masyarakat yang menganggap pemberantasan korupsi di Indonesia cukup baik.
"Adanya kepercayaan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi menjadi modal pemerintah. Tentang banyaknya anggota legislatif yang korup, ini bisa menjadi petunjuk penting KPK untuk fokus di korupsi politik dalam pemberantasan," ujar Ade Irawan, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menegaskan, KPK selalu berupaya menegakkan hukum, khususnya untuk kasus korupsi besar. "KPK bekerja berdasarkan fakta dan bukti-bukti tindak pidana korupsi," ujarnya.
Aliran dana
Selama dua tahun penyidikan kasus KTP-el, KPK menemukan korupsi diduga terjadi mulai dari tahap pembahasan anggaran pada tahun 2010.Saat pembahasan anggaran yang meliputi sejumlah rapat yang melibatkan anggota DPR dan pemerintah ditemukan indikasi praktik "ijon". "Sejak tahapan itu, muncul indikasi aliran dana ke sejumlah pihak dan terindikasi ada banyak yang turut menikmati aliran dana ini," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah.
Dugaan korupsi selanjutnya ditemukan saat tahap pengadaan pada 2011-2012.
"Kami akan jelaskan di pengadilan, apa penyebab negara dirugikan hingga Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun. Kami juga akan terus mendalami dan membandingkan indikasi kerugian Rp 2,3 triliun itu mengalir ke siapa saja," tutur Febri. Perkara ini mulai disidangkan pada 9 Maret mendatang.
Selama menyidik kasus ini, KPK telah memintai keterangan 23 anggota DPR dan mantan anggota DPR.
Sementara itu, dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto serta mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, menurut Febri, telah mengajukan diri sebagai justice collaborator (pelaku yang bekerja sama untuk mengungkap kejahatan).
Mereka juga telah mengembalikan uang yang diterima dari pengadaan KTP-el.
Pengembalian uang ke KPK juga telah dilakukan 14 orang lain dengan nilai total Rp 30 miliar.
Pengembalian uang juga dilakukan perusahaan atau konsorsium dalam pengadaan KTP-el itu sebesar Rp 220 miliar.
"Di pengadilan nanti akan kami uraikan pula pengembalian uang ini, karena ini bagian dari kerugian negara," katanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum bersedia membuka, siapa nama politisi yang mengembalikan uang proyek E-KTP, termasuk siapa lagi pejabat publik yang terlibat dalam kasus korupsi E-KTP.
Membantah
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR pada 2009- 2013 menyatakan bukan termasuk dalam orang yang ikut mengembalikan uang dalam kasus KTP-el ke KPK. "Saya tidak terima apa-apa. Jadi, apa yang harus saya kembalikan?" katanya.Ganjar mengaku sudah memberikan klarifikasi saat diperiksa sebagai saksi oleh KPK dalam kasus ini. "Saya sudah mengaku tak menerima apa pun. Saya juga sudah mengaku tak tahu-menahu soal permintaan dana," ujarnya.
Saat diperiksa KPK pada tahun 2016, Ganjar mengaku dikonfrontasi oleh penyidik KPK bersama salah satu mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani. Saat pemeriksaan itu, lanjutnya, Miryam mengatakan kepada penyidik bahwa tidak memberikan apa pun kepada Ganjar.
Agun Gunandjar Sudarsa yang menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR pada 2012-2014 menolak menjelaskan kasus dugaan korupsi KTP-el. "Bukan saatnya dan tempatnya bagi saya untuk mengklarifikasi melalui media perihal proses penegakan hukum untuk kasus korupsi KTP-el yang sedang berjalan. Biarlah pengadilan yang mengujinya secara terbuka terhadap siapa pun yang disebut dalam dakwaan kasus tersebut," katanya.
Meski demikian, dia berjanji akan menghormati, mematuhi, dan menjalankan semua proses yang berjalan.
Sementara itu Wakil Ketua DPR Fadli Zon meminta publik berpegang pada fakta persidangan terkait dengan munculnya sejumlah nama anggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP.
Fadli mengatakan keterkaitan sejumlah nama aggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP harus ditunjukan dalam sidang yang akan mulai digelar pada Kamis (9/3/2017) besok. (tribunnews.com/iqbal)
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon