Cerita Brutalnya FPI 'Injak-injak' Pancasila dan Keragaman Bangsa Indonesia |
Tapi 1 Juni juga telah menjadi hari duka bagi kebebasan beragama di Indonesia. Pada Juni 2008, Front Pembela Islam (FPI) melakukan penyerangan terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang akan memperingati hari kelahiran Pancasila. Setidaknya ada 26-28 orang menjadi korban, dan harus dirawat di rumah sakit.
Alasan FPI melakukan penyerangan karena AKKBB dianggap sebagai pendukung Ahmadiyah, dan kerap mempromosikan kebebasan beragama.
Sekedar untuk mengingatkan kembali insiden brutal tersebut kami ceritakan ulang peristiwa tersebut, sebagaimana cerita KH. Maman Imanul Haq, Pengasuh PP al-Mizan Majalengka, Ketua Lembaga Da’wah NU Jawa Barat, dan anggota Dewan Syuro PKB Pusat; Ustadz Mas Zaelal Muhyiddin, Ketua Yayasan PP al-Mizan Majalengka-Cirebon dan Ade, santri KH. Maman.
Insiden ini bermula ketika AKKBB akan menggelar aksi di Monas, Jakarta, pada 1 Juni 2008. Namun belum lama aksi dimulai, kumpulan masa AKKBB diserang oleh masa beratribut FPI.
Munarman |
Ustadz Mas Zaenal dan istrinya Hj. Dedeh Masyitoh termasuk yang selamat dari amukan FPI, yang menuduh massa yang beraksi sebagai kafir dan murtad.
KH Maman Imanul Haq yang biasa disapa Kang Maman ikut mengiring massa itu. Ia didekati oleh sekitar sepuluh orang yang beratribut FPI tersebut dengan membawa tongkat bambu dan bendera FPI. Tanpa basa-basi mereka langsung memukul tulang rusuk dengan kepalan tangan yang sangat keras, menghantam kepala dengan bambu, memukul hidung dan dagu. Kang Maman terjungkal, mereka lalu menginjak-injak, melepaskan salah satu sepatu yang dipakai Kang Maman dan memukulkannya pada muka, hidung dan dagu.
“Aku tidak berniat langsung lari, karena ingin menyelamatkan ibu-ibu. Minimal ketika mereka menyerang saya, ibu-ibu punya waktu untuk berlari”, kata Kang Maman. “Dalam keadaan lunglai, mereka masih sempat mengambil arloji saya. Mereka memang mencoreng nama Islam dan mengancam Pancasila dan Konstitusi Negara Indonesia”, tandas Kang Maman.
“Aku tidak ingin balas dendam kepada siapapun. Aku hanya ingin segenap elemen bangsa sadar, bahwa kekerasan tidak boleh dilakukan, oleh siapapun, kepada siapapun dan atas nama apapun. Apalagi Islam. Dan ini menuntut ketegasan negara”, ucapnya.
“Persoalan kehidupan berbangsa tentu lebih fundamental. Inilah yang ingin kami peringati dari Pancasila. Yaitu penghormatan dan penghargaan terhadap segenap komponen bangsa. Perbedaan dan keragamaan, tidak boleh diselesaikan dengan kekerasan antar kelompok dan komponen bangsa. Cukup sudah, cukup sudah”.
“Para pelaku kekerasan itu, seringkali menuduh kita sebagai antek asing. Sebenarnya siapa sih yang antek asing? Kita ingin kedamaian, mereka ingin kehancuran. Mereka bernafsu pada kekerasan, kita justru membuka dialog antar komponen. Orang seperti mereka yang justru dimanfaatkan untuk menghancurkan kita sebagai bangsa,” tegas Kang Maman, yang sempat dijahit lima jahitan di dagunya yang sobek, beberapa jahitan dan memar di kepala dan tulang rusuk depan bagian kiri.
Selain Kang Maman beberapa tokoh yang menjadi korban kekerasan tersebut adalah Dr. Syafi’i Anwar, Ahmad Suaedy, Imdadun Rahmat, Guntur Romli. Yang terakhir ini termasuk yang paling parah, dan sempat tidak sadarkan diri dalam waktu cukup lama.
Kisah kebrutalan FPI tersebut diceritakan juga oleh Ade, salah seorang santri KH. Maman. Menurut Ade massa FPI menyerang secara sporadis dan brutal ke massa aliansi, tidak terkecuali perempuan. Kebetulan rombongan dari pesantren al-Mizan sebagian besar adalah perempuan.
Penyerangan itu dilakukan tidak dengan tangan kosong, melainkan dengan berbagai senjata, seperti bambu, alat pemukul yang sudah dipersiapkan dan juga alat pengeras suara yang dibawa. Massa aliansi tidak melawan, tetapi FPI tetap menyerang membabi buta dan tak pandang bulu, korban pun berjatuhan.
Peristiwa itu sudah berlalu 7 tahun silam. Kedua pelaku utama yang dianggap paling bertanggungjawab atas penyerangan tersebut yaitu Munarman dan Habib Rizieq Shihab telah divonis bersalah dan dihukum penjara 1 tahun 6 bulan. Tapi yang mungkin yang harus diingat, potensi terhadap kekerasan serupa tetap ada. Penyerangan terhadap Ahmdiyah, terhadap Syiah, terhadap gereja, terus berlangsung.
Karena itu penting bagi kita untuk saling menjaga dan mengingatkan. Menulis lagi peristiwa itu salah satu upaya kami.
Oleh: Warso Tarsono
Sumber: Madinaonline.id
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon