AHY dan Politik Dinasti sang Pepo |
Pencalonan AHY tersebut menimbulkan banyak tanda tanya. Pertama, nama AHY tidak ada dalam bursa pencalonan, dan hanya dimunculkan pada detik-detik akhir. Kedua, pencalonan AHY cenderung spontan dan hanya cukup ditelpon oleh sang ayah, SBY. Ketiga, SBY terlihat aktif dalam politisasi isu SARA, khususnya isu dugaan penodaan agama terhadap Ahok. Pidatonya tentang “Lebaran Kuda” dinilai publik bernuansa provokatif.
Kebetulan-kebetulan yang dibetulkan ini begitu sistematis dan terorganisir. Jelas, SBY dengan kekuatan yang masih dimiliki saat ini ingin mencoba kembali menancapkan kekuasaannya melalui AHY. Sebagai ahli strategi politik, bukan tidak mungkin pencalonan AHY menuju DKI 1 sebagai batu loncatan menuju kursi yang lebih tinggi, presiden 2019.
Menurut pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan bahwasanya selain momentumnya tepat untuk menyerahkan masa depan Demokrat ke tangan anaknya, AHY dalam pencalonannya beririsan dengan skema politik Pemilu 2019. Sebab, keduanya adalah satu rangkaian yang tak boleh terputus. Turunnya Prabowo, Megawati, dan SBY dalam pilkada DKI menjadi referensi dan barometer uji coba pilpres 2019.
Perisai Hukum
Praktik politik dinasti khususnya di Indonesia perlu mendapatkan perhatian dari segenap pihak. Karena, gejala politik keturunan ini berdampak negatif terhadap iklim perpolitikan nasional maupun lokal.
Sebenarnya, pemerintah telah berinisiatif untuk mengajukan revisi UU Pilkada (UU No.32/2004). Salah satu revisi yang diajukan adalah membatasi terjadinya politik dinasti. Inisiatif dari pemerintah ini perlu kita apresiasi. Karena, politik dinasti bisa dijadikan alat untuk melindungi kasus hukum yang menjerat kerabat sebelumnya semasa ia memimpin, sehingga memberikan rasa tidak keadilan masyarakat di mata hukum.
Banyak kasus yang menerpa pejabat Indonesia, namun sangat sulit diungkap oleh pihak berwenang. Telah kita ketahui, banyak menteri di era SBY yang tersangkut korupsi. Anehnya, ketika SBY masih berkuasa kasus korupsi menterinya tidak tersentuh. Setelah kekuasaanya berakhir, satu persatu menteri era SBY yang korup mulai terungkap. Hal ini membuktikan kekuasaan mampu dijadikan alat untuk melindungi mereka yang dekat dengan penguasa.
Sebelum Dahlan Iskan dan Siti Fadilah Supari, menteri pertama yang tersandung kasus korupsi adalah Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng, Menteri Agama Suryadharma Ali, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik. Kelima menteri SBY itu oleh pengadilan terbukti melakukan tindak pidana korupsi saat mereka menjabat.
Selain itu, kasus listrik mangkrak era SBY dengan total kerugian mencapai kurang lebih 4 triliun juga terungkap. Bayangkan, dari 34 proyek listrik 7.000 MW, 12 diantaranya sudah benar-benar tidak bisa dilanjutkan. Untuk melanjutkan proyek tersebut, tentunya pemerintah membutuhkan tambahan biaya sebesar . diperkirakan dana yang dibutuhkan untuk menutup kerugian sebesar7,34 Triliun.
Terakhir, diantara kasus korupsi terdahsyat yang terjadi di era SBY adalah kaus Bank Century. Menurut BPK potensi kerugian kasus tersebut adalah 7.4 Triliun. Sampai saat ini kasus tersebut masih bergulir dan ada dugaan kuat yang dapat menyeret Keluarga Cikeas.
BPK menyatakan bahwa telah terjadi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran pidana dalam kasus ini, diantaranya unsur kerugian Negara, pelanggaran undang-undang, dan ditemukannya bukti kuat rekayasa kebijakan yang sengaja dirancang untuk penyelamatan Bank Century. Samapai sekarang, aliran korupsi bocornya dana talangan Bank Century masih berlanjut dan “Gurita Cikeas” diduga kuat berada di baliknya.
Menurut Geoge Junus Aditjondro, di dalam bukunya “Membongkar Gurita Cikeas Di Balik Skandal Bank Century”, empat yayasan seperti Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Kepedulian dan Kesetiakawanan, Yayasan Madjelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Yayasan Mutumanikam Nusantara yang sebagai pencari dukungan politik dan dana. Menurutnya lagi, bocoran dana talangan Bank Century mengalir ke empat yayasan tersebut.
Berakhirnya kekuasaan SBY, banyak kasus yang membuat mata kita semakin cerah. Pencitraan yang selama ini dibangun oleh SBY dengan slogan “katakan tidak pada korupsi” itu hanya menutupi korupsi yang selama ini disembunyikan.
Hal ini sesuai dengan apa yang disebut Michael Foucoult sebagai konspirasi kekuasaan. SBY kerap menggunakan wacana berupa media untuk mengkonstruk paradigma masyarakat bahwa citra dirinya bersih, baik dan bebas dari tindakan kriminal.
Michels yang menulis mengenai “ hukum besi oligarkhi”, juga menyatakan bahwa dalam organisasi yang demokratis sekalipun, kepemimpinan, setelah terpilih, akan mengekalkan kekuasaannya, dan merusak prinsip demokratis.
SBY melalui AHY ingin membangun kembali ambisi kekuasaannya yang sudah ditinggalkan setelah 10 tahun berkuasa. Di Pilkada DKI Jakarta 2017, SBY sangat serius untuk memenangkan AHY menuju DKI 1.
Buktinya, dia rela menurunkan wibawanya sebagai negarawan demi melenggangkan sang anak, AHY untuk menjadi gubernur dengan pidatonya yang menuntut Ahok segera diproses secara hukum. Pidato tersebut juga dianggap sikap provokasi karena dilakukan dua hari menjelang demo besar 4 November.
Di samping untuk melanjutkan kekuasaan sanga ayah, AHY nantinya diharapkan menjadi pelindung dosa-dosa Cikeas yang selama ini belum terkuak. Karena, hanya dengan kekuasaan yang mampu melindungi dosa-dosa yang belum terkuak yang sudah dilakukannya selama ini.
Kemenangan AHY dalam Pilkada nanti adalah tujuan besar yang harus dicapai. Karena, kemenangan di Pilkada ini, akan menjadi kesempatan besarnya untuk menjadi Presiden RI. Dengan begitu, ambisi SBY untuk Keluarga Cikeas berkuasa kembali benar-benar terwujud. Padahal, kekuasaan yang SBY inginkan adalah untuk melindungi Keluarga Cikeas dari cengkraman desas-desus kasus korupsinya di masa lalu.
Maka dari itu, sejatinya warga DKI Jakarta mencermati dan mewaspadai “udang di balik batu” dalam Pilkada yang akan digelar pertengahan Februari nanti. Kita tidak ingin Jakarta yang sudah relatif berbenah dan berubah ini akan dikalahkan oleh ambisi kekuasaan “Sang Mantan” yang selama 10 tahun hanya mengutamakan politik pencitraan, bukan politik kerja nyata.
Sumber: Qureta.com
Oleh: Muhammad Ari Setiawan
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon