Buni Yani dan Dwi Estiningsih |
Entahlah, Orang luar sudah bersaing bagaimana memulihkan ekonomi bangsa menjadi lebih baik, sudah bersaing sains dan teknologi pada level yang ingin melampaui. Indonesia masih saja melawak dengan irasional kronis.
Post-modern seperti menyembunyikan kedunguan-kedunguan untuk diabadikan. Perkembangan produk kapitalisme bukan saja meningkatkan “seksualitas” oligarki. Tapi lebih dari itu, selain melahirkan individu yang konsumtif akut juga kerap kali menciptakan manusia kontemporer yang malas, hingga golongan terpelajar yang disebut intelektual lebih parah kelakuannya dibandingkan yang tidak sekolah sama sekali. Seperti Buni Yani dan Dwi Estiningsih.
Seperti yang saya paparkan sebelumnya, ataupun yang sudah diketahui umum lewat media-media lainnya. Bagaimana mungkin dalam kasus Buni Yani “mesin pencari facebook” patut disalahkan? Yang saya pikirkan sambil tertawa dan sempat merenung sejenak, kenapa saya merenung, la si Buni kan dosen, si pengacaranya tentunya tahu hukum, kalau apa yang dilakukan Buni ketika meng-upload video Ahok di Kepulaun Seribu, bukanlah sebuah kesalahan dan yang salah adalah “mesin pencari facebook”, Apakah pantas mereka disebut terpelajar, coba dipikirkan jika “mesin pencari” duduk dipersidangan, inikan bikin ngakak.
Sementara saya juga bertanya dalam hati, patutkah orang seperti dia dikasihani, melihat betapa banyaknya aksi demonstran dalam kasus yang menimpa Ahok tetapi seberapa banyak yang bela Buni.
Selanjutnya Dwi Estiningsih. Bagaimana mungkin dia menyebut diri “…untung sy belajar #sejarah,” Tapi tidak berterimakasih dengan sejarah, seperti melontarkan kata kalau pahlawan di dalam uang baru adalah “kafir”. Sementara pejuang mengatakan “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai (menghormati) jasa para pahlawan.” Jadi sejarah yang dipelajari Dwi itu yang bagaimana?.
Dari gambar diatas yang dilakukan Dwi jelas bakal bikin orang “terpingkal-pingkal” atau jijik lebih tepatnya. Dimedan juang untuk kemerdekaan bangsa yang dipertaruhkan nyawa, waktu, tenaga, dan berdarah-darah untuk kemerdekaan bangsa ini. Jadi apa hubungannya dengan “jilbab”, terus “kafir” yang bagaimana?. Kicauan Dwi Estiningsih tampak seperti mengalahkan kicauan burung tiung.
“Iya sebagian kecil dari non muslim berjuang, mayoritas pengkhianat. Untung sy belajar #sejarah,”.
Pengkhianat yang bagaimana? Pahlawan berjuang mati-matian kok disebut demikian, mayoritas kok disebut demikian. Lalu anda yang menyebut pahlawan di dalam uang baru adalah “kafir”, apakah itu bukan pengkhianat?.
Seperti informasi yang saya dapat, salah satu relawan bara, Birgaldo Sinaga, tindakan yang dilakukan Dwi, sudah melukai para pahlawan bahwa yang telah gugur membela bangsa dan negaranya dari penjajah.
Apa yang dikatakan Birgaldo, jelas Dwi lebih patut disebut pengkhianat. Mungkin sebagian juga akan menyebut demikian. Atlit saja disebut pahlawan, orang tua kita juga bisa disebut pahlawan. Masa pahlawan yang telah berjuang untuk negeri ini disebut “kafir”. Berdasarkan rekam jejaknya Dwi Estiningsih merupakan kader partai PKS.
Jadi kalau Dwi Estiningsih ini belajar sejarah, sejarah “hijab” sendiri sudah dipelajarinya belum? Sejarah ke-bhinekaan bangsa ini sudah ditelusurinya belum, kalau hanya omong, kata lagu om iwan “burung beo pun bisa”.
Dan sekarang lihat saja Buni Yani dan Dwi Estiningsih. Keduanya harus berurusan dengan hukum. Karena “kedunguan” sendiri. Keduanya terpelajar loh, ironis kalau seperti ini. Lalu adakah demo-demo akbar untuk membelanya. Politik itu indah sekaligus menyakitkan.
Kasus “penista” dibesarkan, equil, sari roti, inteloren, aksi teror bom, saling mengkafiri, calon pemimpin tidak berani debat, dan termasuk Atribut pun dibikin ribut. Ya samannnnnnnnnnn tampak seperti “candu”.
Om telolet om, mungkin demikian akan menjadi indah, tapi akan berbeda jika bunyinya TELOLELOLELOLET.
Seperti apa yang dikicaukan Dwi, kalau pahlawan non-muslim adalah “kafir”, bagaimana saat dimedan juang dalam menghadapi penjajah, moncong senjata para penjajaj sudah di depan mata, lalu pejuang kita saling tanya “loh, agama apa loh?”, yang se-agama saja boleh berjuang, kalau seperti itu mana mungkin proklamasi tidak terjadi di negeri ini. So, “…untung sy belajar #sejarah”, kalimat ungkapan ini jauh dari kenyataannya.
Apakah Dwi juga akan mengikuti jejak Buni, untuk menyalahkan “mesin pencari”. Semoga saja tidak, kalau terjadi juga, entah harus bilang apa lagi. Mungkin akan ada klakson panjang seperti telolelolelolettttttttttttt.
Selamat teriak telolet, kalau untuk Buni dan Dwi mungkin yang rada panjang “teloleloleloleloleTtttttttttttttt” minggirrrrrr.
Oleh: Losa Terjal
Editor: Wijaya Kusuma
Sumber: Seword.com
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon