Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) |
Dalam APBD 2017 yang telah disahkan itu, dalam dokumen itu juga dijelaskan secara rinci, kegiatan apa saja yang dianggarkan DPRD DKI untuk operasional di gedung parlemen tingkat provinsi. Misalnya saja, penyedia jasa telepon air dan internet yang mendapat kucuran dana senilai Rp 29.373.483.125.
Penyediaan makanan dan minuman bagi anggota DPRD DKI sebesar Rp 11.020.320.450. Pakaian dinas dan atribut untuk pimpinan dan anggota DPRD DKI dianggarkan senilai Rp 1.387.779.250.
Sementara untuk rapat-rapat, seperti Badan Legislasi Rp 5.828.004.000, rapat di Badan Anggaran Rp 3.206.670.000. Ada pula anggaran untuk pendidikan dan pelatihan anggota DPRD DKI yang dialokasikan sebesar Rp 3.600.754.000
Anggaran yang lebih 'wah' lainnya yakni untuk kunker 106 anggota dewan dan para stafnya diberikan Rp 45.501.998.000. Sementara untuk kunker komisi beda lagi, dialokasikan senilai Rp 12.579.624.000. Untuk pelaksanaan reses, anggota DPRD DKI dapat Rp 38.090.397.114.
Lebih dahsyatnya lagi, Anggota dewan juga tak perlu mengeluarkan kocek untuk sekedar memeriksakan kesehatan di dokter. Sebab sudah memiliki anggaran yang dibiayai dari uang rakyat senilai Rp 1.378.000.000.
Menariknya, ada sejumlah mata anggaran yang tidak diusulkan pemerintah namun masuk dan disahkan dalam APBD DKI 2017 tersebut. Salah satunya penataan dan rehabilitasi kolam gedung DPRD DKI senilai Rp 579.041.780.
Bukan hanya itu saja yang tak diusulkan pemerintah DKI tapi masuk dalam anggaran. Penyedia jasa pengemudi bagi anggota DPRD juga masuk dengan nilai cukup fantastis yakni Rp 4.302.870.680. Begitu juga, perbaikan buat rumah Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi masuk dalam APBD DKI, dengan nilai Rp 1.443.117.109.
Selain itu, Sumarsono dan DPRD DKI resmi mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Perangkat Daerah DKI Jakarta yang baru. Susunan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mengalami perampingan, aturan tersebut mulai berlaku tahun depan.
Soemarsono mengatakan, ada beberapa perubahan terhadap susunan organisasi perangkat daerah di DKI Jakarta. Dari 54 SKPD menjadi 42 SKPD dan menghapus 1.060 jabatan. Setelah perampingan itu, Pemprov yang saat ini memiliki 5.998 jabatan akan menyisakan 4.938 jabatan saja.
Sumarsono mengaku, saat ini belum menerima formasi baru hasil rotasi pejabat. Dia juga menambahkan akan menerima masukan dari pihak manapun, termasuk dari Gubernur dan Wakil Gubernur non-aktif, Ahok dan Djarot.
"Yang penting bagi saya bagian dari etika administrasi pemerintahan seorang Plt tidak dilarang untuk kemudian memperoleh berbagai input tentunya terutama dari Gubernur nonaktif," kata Sumarsono.
Menurut Sumarsono, jika Ahok dan Djarot aktif memberi masukan ketika mereka kembali menjabat nanti setelah masa kampanye mereka bisa langsung beradaptasi dengan kebijakan baru tersebut.
"Jadi ketika Pak Ahok maupun Pak Djarot masuk mereka sudah nyambung dengan susunan yang telah kita konsultasikan. jadi tetap kami memperoleh masukan. Kalaupun enggak ada masukan, saya anggap mungkin sudah setuju dengan apa yang kita lakukan," terangnya.
Untuk rotasi baru pemerintahan di Pemprov DKI ini Sumarsono menyatakan akan menggunakan sistem talent pool kemudian assessment, sehingga nantinya yang akan menempati posisi tersebut adalah pilihan yang terbaik.
"Karena ada 1.060 yang harus dihapuskan. Tentu kita mencari pejabat-pejabat yang terbaik. ada tim dewan jabatan yang akan melakukan itu. Tetap kami mendengarkan masukan dari berbagai pihak khususnya petahana. sebatas masukan," paparnya.
Sebagai konsekuensi penataan jabatan, nantinya, akan ada yang mengalami kenaikan jabatan, ada yang tetap pada posisinya saat ini dan bahkan ada juga yang jabatannya diturunkan jika dia dinilai tidak layak. Selain itu, dari 1.060 jabatan yang hilang itu termasuk beberapa yang pensiun.
"Pasti akan ada yang di-grounded, ada yang pensiun ada juga karena performance kurang sementara dia ditempatkan di posisi yang lain jadi jabatan fungsional. Sesuai PP 18 Tahun 2016. Secara nasional memang ada perampingan sekitar 10-15 persen," tandasnya.
Sementara itu, Ahok hanya tertawa kecil saat dikonfirmasi mengenai adanya surat pertimbangan dari Sumarsono. Sebab, dia menganggap, kewenangan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu sudah sama dengan gubernur definitif.
"Mana ada bersurat ke saya gitu loh. Mana boleh bersurat ke saya. Orang dia sudah kaya gubernur kok. Saya kira beliau itu sudah enggak dipanggil plt gubernur tapi dipanggil gubernur. Kuasanya enggak beda dengan gubernur kok," katanya.
Mantan Bupati Belitung Timur ini mengungkapkan, masih belum menangkap logika yang digunakan oleh Kementerian Dalam Negeri saat membuat landasan hukum kewenangan Plt setara dengan gubernur definitif. Karena ini bertentangan dengan Undang-Undang yang hanya memberikan kewenangan kepala daerah.
"Jadi saya enggak ngerti secara bahasa kenapa dikasih plt kalau kekuasaannya persis gubernur? Gubernur saja sekalian. Kalau mau ngomong ngelanggar UU ya, gubernur saja sekalian ya kan. Yaudahlah, toh saya juga belum tentu balik katanya kan. Kalau begitu ya sudah tanya saja sama gubernur baru," tutupnya.
Editor: Wijaya Kusuma
Sumber: Merdeka.com
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon