Friday, December 16, 2016

Wajah Ektrimis dan Moderat Peranakan Arab di Indonesia

Wajah Ektrimis dan Moderat Peranakan Arab di Indonesia
ENEWS.ID - Wajah radikal peranakan Arab Indonesia --yang sebetulnya minoritas-- lebih sering mendapatkan tempat ketimbang sisi moderatnya. Catatan Heyder Affan, wartawan BBC Indonesia yang kebetulan juga keturunan Arab.

Sepertinya tidak ada aktivitas yang mencurigakan malam itu. Hanya terdengar lagu-lagu Natal dan doa-doa dari jemaat gereja di berbagai sudut kota Malang.

Sebagian warga kota kecil itu juga barangkali asyik di depan layar kaca --termasuk saya dan keluargaku. Lainnya mungkin sudah terlelap tidur. Hari itu, 24 Desember 1984.

Namun demikian, di sudut lain kota Malang, ada sejumlah pria berjalan mengendap-endap. Mereka barangkali berkeringat dingin --dan sedikit gemetar. Dan membawa bahan peledak.

"Bleng!" Bom itu meledakkan gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara dan Gereja Sasana Budaya Katolik di Malang, Jawa Timur.

Bunyi ledakan itu terdengar hingga ruang tengah rumah keluarga saya --yang berjarak sekitar 500 meter dari gereja Katolik itu. "Mungkin cuma tabrakan," begitu kata yang terlontar saat itu. Saya saat itu berumur 17 tahun.

Bom Borobudur 1985

Satu bulan kemudian, 21 Januari 1985, ledakan bom dalam skala lebih besar mengguncang dan merusakkan sembilan stupa dan dua patung Buddha di Candi Borobudur.

Pada 21 Januari 1985, ledakan bom merusak sembilan stupa dan dua patung Buddha di Candi Borobudur.

Siapa pelaku peledakan bom di Malang dan candi Borobudur? Semua masih menjadi misteri, sampai terjadi peristiwa lain, dua bulan kemudian.

Jaringan pelaku peledakan bom itu baru terungkap setelah sebuah bom meledak di dalam bus Pemudi Express.

Bom itu meledak saat melintas di Desa Sumber Kencono, Banyuwangi pada 16 Maret 1985. Penyelidikan polisi menyimpulkan bom itu hendak diledakkan di Kuta Bali.


Al-Habsyi bersaudara

Empat pelaku tewas dalam ledakan di dalam bus itu, tetapi satu orang lainnya hanya terluka. Namanya: Abdul Kadir Ali Al-Habsyi. Polisi kemudian menyeret kakaknya, Husein Ali Al-Habsyi, sebagai pelaku lainnya.

Walaupun gagal menangkap otak pelaku bernama Mohammad Jawad alias "Ibrahim" alias "Kresna", dua orang bersaudara itu belakangan dianggap sebagai pelaku peledakan bom Borobudur.

Pemakaman Amir Biki, salah-seorang korban tewas dalam kasus Tanjung Priok 1984.

Saya masih ingat, melalui cerita ayah atau ibuku, sebagian warga Indonesia keturunan Arab di Malang saat itu merasa "risau" setelah dua orang warga Indonesia keturunan Arab itu disebut sebagai pelakunya.

Selama persidangan kasus ini, jaksa menuduh pengeboman candi Borobudur terkait peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984. Keduanya semacam melakukan aksi balas dendam atas penembakan aparat terhap kelompok sipil dalam kasus Priok.

Abdul Kadir kemudian divonis 20 tahun penjara, sementara Husein divonis penjara seumur hidup. Setelah kekuasaan Presiden Suharto berakhir, pada 1999, keduanya masing-masing mendapat remisi dan grasi.

Abu Jandal alias Salim Mubarok Attamimi. Photo: BBC

ISIS dan video Abu Jandal

Lebih dari 30 tahun setelah teror Bom Borobudur, warga Indonesia peranakan Arab di kota Malang, kembali dikejutkan isi pidato seorang pria yang disebut sebagai Salim Mubarok Attatimi alias Abu Jandal.

Melalui video yang diunggah di Youtube, Salim Mubarok Attamimi, pada Desember 2014 lalu, telah mengeluarkan ancaman serangan terhadap institusi TNI, kepolisian dan organisasi NU.

Salim Attamimi diyakini telah berada di Suriah dan bergabung dengan kelompok militan Negara Islam atau ISIS. Sebelumnya dia disebutkan mendirikan perkumpulan yang bersifat tertutup di Malang.

Attamimi diyakini telah berada di Suriah dan bergabung dengan kelompok militan Negara Islam atau ISIS. Sebelumnya dia disebutkan mendirikan perkumpulan yang bersifat tertutup di Malang.

"Pesan ini, saya tujukan (kepada ) Panglima TNI Muldoko, Polri dan Banser," ujar pria yang mengenakan penutup kepala hitam dan berkajet warna gelap. Polisi meyakini pria itu adalah Salim Mubarok Attatimi, seorang keturunan Arab.

Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyad Mbai mengatakan, keberadaan Abu Jandal terkait dengan keberangkatan belasan WNI yang berangkat ke Suriah pada Maret 2015 lalu.

"Itu Abu Jandal dan satu orang semacam LO (liaison officer)-nya ISIS dengan militan kita di sini," kata Ansyad Mbai.

Teman bermain sepak bola

Awal November 2015 lalu, saya pulang ke rumah orang tua saya di Malang, usai meliput peringatan Sumpah Pemuda keturunan Arab 1934 yang digelar di Surabaya.

Pada 25 Maret 2015, Abdul Hakim Munabari, warga kelurahan Kasin, Malang, ditangkap pasukan elit kepolisian anti-teror Densus 88. Dia diduga terlibat kelompok militan Negara Islam atau dulu disebut ISIS.

Di kota itu, saya bertemu seorang teman masa kanak-kanak ketika dulu aktif di klub sepak bola Al Badar. Perkumpulan sepak bola ini didirikan warga keturunan Arab di kota Malang, walaupun anggotanya tidak melulu etnis Arab.

"Sudah dengar teman kita di Al Badar, Abdul Hakim, yang diadili karena terkait ISIS?" Tanya temanku itu. Saya mencoba mengingat sosok Abdul Hakim, tetapi lupa sepenuhnya.

Salah-satu sudut Jalan Embong Arab, tempat sebagian warga keturunan Arab tinggal di Kota Malang, Jatim.

Pada 25 Maret 2015, Abdul Hakim Munabari, warga kelurahan Kasin, Malang, ditangkap pasukan elit kepolisian anti-teror Densus 88. Dia diduga terlibat kelompok militan Negara Islam atau dulu disebut ISIS.

Abdul Hakim Munabari diadili bersama lima terdakwa lainnya, diantaranya Ridwan Sungkar dan Helmi Alamudi, dua orang warga keturunan Arab asal Solo dan Tulungagung. Polisi menduga mereka terkait dengan jaringan yang dipimpin Abu Jandal alias Salim Attamimi.
'Problem keturunan Arab'

Seperti yang dirisaukan oleh warga peranakan Arab di Malang ketika "dua Al-Habsyi" diputus bersalah dalam kasus bom Borobudur (1985), warga keturunan Arab saat ini sepertinya juga dihadapkan persoalan yang sama.

"Itu menjadi problem di kalangan anak-anak (keturunan Arab) itu sekarang, ketika mereka dikaitkan ideologi trans-nasional, dan kemudian konteks kearaban diangkat sebagai suatu citra yang berubah sekarang ini," kata Hasan Bahanan, pengamat masalah keturunan Arab di Indonesia.

Di Surabaya, saya bertemu pria keturunan Arab yang selama ini memberikan perhatian penuh terhadap dinamika keturunan Arab di Indonesia. Namanya Hasan Bahanan, yang dikenal pula sebagai staf pengajar di Fakultas Komunikasi, Universitas 17 Agustus, Surabaya.

Itu menjadi problem di kalangan anak-anak (keturunan Arab) itu sekarang, ketika mereka dikaitkan ideologi trans-nasional, dan kemudian konteks kearaban diangkat sebagai suatu citra yang berubah sekarang ini.

Hasan Bahanan

"Itu menjadi problem di kalangan anak-anak (keturunan Arab) itu sekarang, ketika mereka dikaitkan ideologi trans-nasional, dan kemudian konteks kearaban diangkat sebagai suatu citra yang berubah sekarang ini," kata Hasan.

Hasan tidak sendirian. Saya sebelumnya juga mengundang secara khusus dan mewawancarai seorang perempuan keturunan Arab asal Pekalongan, Jateng, yang dikenal sebagai komedian.
'Hanya hitungan jari'

Sakdiyah Ma'ruf, 33 tahun, melalui panggung komedi, acap menyuarakan kegelisahannya terhadap sikap radikal yang ditunjukkan sebagian warga keturunan Arab di Indonesia.

"Di masa post-reformasi, kita menghadapi minoritas keturunan Arab yang suaranya keras, termasuk kelompok radikal dan fundamentalis," kata Sakdiyah.

"Di masa post-reformasi, kita menghadapi minoritas keturunan Arab yang suaranya keras, termasuk kelompok radikal dan fundamentalis," kata Sakdiyah.

Sakdiyah, yang telah meraih penghargaan Vaclav Havel International for Creative Dissent 2015 di Oslo, Norwegia, juga tidak memungkiri sebagian anak muda keturunan Arab tertarik ideologi ISIS.
Komunitas Arab seperti terhubung lebih mudah -ketimbang masyarakat lain- dengan orang-orang di Timur tengah. Ini terjadi karena situasi geopolitik yang mencair.

Sakdiyah Ma'ruf.

"Komunitas Arab seperti terhubung lebih mudah -ketimbang masyarakat lain- dengan orang-orang di Timur Tengah. Ini terjadi karena situasi geopolitik yang mencair," katanya setengah menganalisa.
"Sebagian orang-orang Arab Indonesia ini kemudian mencari rujukan baru,"lanjutnya. "Di sinilah isu trans-nasional menemukan tempatnya".

Namun demikian, Sakdiyah dan Hasan Bahanan meyakini jumlah anak muda keturunan Arab yang tertarik radikalisme Islam jumlahnya kecil.

"Itu hanya hitungan jari saja," kata Hasan. "Dan dia kalau mau memimpin organisasi, ya, organisasinya bukan organisasi utama (keturunan Arab)."

Ba'asyir, Sungkar, Patek

Pertanyaannya kemudian, sejak kapan warga keturunan Arab mulai terlibat dalam gerakan radikal Islam di Indonesia?

Ismail Fajrie Alatas, mahasiswa program doktoral antropologi dan sejarah di Universitas Michigan, AS, mengatakan, awal mula radikalisasi keturunan Arab di Indonesia "tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik global".

Abu Bakar Ba'asyir saat mengikuti persidangan atas dirinya.

Radikalisasi pada sosok Abu Bakar Ba'asyir dan Abdullah Sungkar --pendiri pondok pesantren Al-Mukmin di Solo, Jateng, pada awal 1970-an, yang mencita-citakan penerapan Syariat Islam di Indonesia-- disebutnya tidak terlepas pada masa "akhir perang dingin antara AS dan Soviet".

Di awal 1983, Ba'asyir dan Sungkar dituduh menghasut menolak penerapan azas tunggal Pancasila dan divonis sembilan tahun penjara.

Saat memasuki proses kasasi, mereka kemudian melarikan diri ke Malaysia.

Di Malaysia, mereka berperan mengirim warga Indonesia yang bersedia berperang ke Afghanistan --diantaranya ada yang keturunan Arab.

"Dua orang yang Anda sebut (Abu Bakar Ba'asyir dan Abdullah Sungkar) berperan besar dalam proses radikalisasi orang-orang yang akhinya berangkat ke tempat-tempat seperti Afghanistan," kata Fajrie.

Sekarang ini era digital, di mana orang begitu cepat bisa merespon apa yang terjadi, maka sisi-sisi keradikalan mereka (keturunan Arab) itulah yang banyak diungkap.

Purnawan Basundoro, staf pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.

"Tokoh-tokoh ini (di antaranya Umar Patek alias Hisyam Bawazir, tersangka kasus bom Bali 2002 dan Natal) yang pergi ke Afganistan dan mencoba menggunakan taktik kekerasan untuk digunakan di Indonesia," kata Fajrie.

Pengamat masalah keturunan Arab, Hasan Bahanan mengatakan, radikalisasi Islam di Indonesia --yang antara lain melibatkan keturunan Arab-- tidak terlepas dari persoalan global, seperti di Afganistan, Palestina dan kini di Irak dan Suriah.

"Ketika terjadi perang Afganistan, semua yang anti Komunis berbondong-bondong ke sana. Ketika sudah selesai, muncul lagi radikalisme baru. Katakanlah Taliban. Dan ketika ini reda, muncul ISIS," kata Hasan.

Peran kelompok moderat

Walaupun aktivitas radikalisme Islam di Indonesia disebut hanya melibatkan segelintir orang-orang peranakan Arab, tetapi tetap saja gaungnya lebih terasa.

"Sekarang ini era digital, di mana orang begitu cepat bisa merespon apa yang terjadi, maka sisi-sisi keradikalan mereka (keturunan Arab) itulah yang banyak diungkap," kata Purnawan Basundoro, staf pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.

"Mengapa? Karena tindakan radikal ini 'kan di luar nilai-nilai kemanusiaan. Biasanya tindakan seperti itu jauh diingat orang daripada tindakan baik," kata Purnawan Basundoro.

"Mengapa? Karena tindakan radikal ini 'kan di luar nilai-nilai kemanusiaan. Biasanya tindakan seperti itu jauh diingat orang daripada tindakan baik," jelasnya lebih lanjut.

Karena itu, mari wajah radikal itu diminimalisir. Mari masyarakat keturunan Arab yang selama ini memilih jalan moderat, damai, mencegah orang-orang yang mau berbuat radikal.

Purnawan Basundoro.

Purnawan selama ini dikenal pernah meneliti dan rajin mengamati dinamika keturunan Arab Indonesia. Dia diundang sebagai pembicara dalam diskusi memperingati Sumpah pemuda keturunan Arab 1934, Minggu (01/11) lalu di Surabaya.

Dia kemudian melanjutkan: "Karena itu, mari wajah radikal itu diminimalisir. Mari masyarakat keturunan Arab yang selama ini memilih jalan moderat, damai, mencegah orang-orang yang mau berbuat radikal."

Ketika seorang warga kota Malang yang berlatar etnis Arab, Abdul Hakim Munabari, ditangkap pada akhir Maret 2015 lalu, Wali Kota Malang Muchamad Anton menyerukan agar "kaum ulama, kiai dan para habib ikut berperan menangkal radikalisme".

Tiga bocah warga keturunan Arab tengah berangkat mengaji di kawasan kampung Arab, Ampel, Surabaya utara.

"Agar memberikan pemahaman yang benar soal Islam," kata Anton, seperti dikutip media.

Juru bicara BNPT, Irfan Idris juga meminta agar kaum ulama keturunan Arab memperkuat jaringan agar "kaum muda keturunan Arab tidak terbawa arus radikalisasi".

Seorang warga keturunan Arab di Jalan Sasak, Surabaya utara, menjaga toko minyak wangi.

Usulan serupa juga disarankan Ismail Fajrie Alatas. Menurutnya, kehadiran para ulama keturunan Arab --yang menolak aksi kekerasan dalam menjalankan dakwahnya-- dapat menjalankan perannya dalam kasus ini.

Banyak ulama-ulama Arab Habaib ataupun non-Habaib, mereka berjubah, bersorban, dan berjenggot, tetapi tidak mendakwakan kekerasan.

Ismail Fajrie Alatas, mahasiswa program doktoral antropologi dan sejarah di Universitas Michigan, AS.

"Banyak ulama-ulama Arab Habaib ataupun non-Habaib, mereka berjubah, bersorban, dan berjenggot, tetapi tidak mendakwahkan kekerasan," papar Fajrie yang tengah menyelesaikan disertasinya tentang formasi sosial di kalangan Arab Alawiyin di Indonesia.

"Di sinilah pentingnya sosialisasi dan pendidikan di keturunan Arab sendiri," tambahnya.

Mendengarkan ulama senior

Namun demikian, Fajrie menyadari keterbatasan peran dan wewenang para ulama tersebut di dalam menjalankan tuntutan peran itu.

"Karena tidak ada struktur, tidak ada hirarki dalam kelompok keturunan Arab. Setiap ulama dapat membentuk jamaah masing-masing, yang kadang-kadang di antara mereka clash memperebutkan jamaah," jelas Fajrie.

Di sinilah, lanjutnya, yang bisa dilakukan para ulama itu "terus mengumandangkan wacana Islam keindonesiaan yang moderat."

Dua poster berukuran besar, bergambar Presiden Sukarno dan ulama asal Yaman, Umar bin Hafidz, dipajang untuk dijual di Kampung Arab, Surabaya.

Suara agak optimis diutarakan Abdullah Aljufri, yang berusia 37 tahun, pegiat di LSM Mutafannin yang bergerak di bidang penulisan tentang masalah sosial budaya peranakan Arab Indonesia.

Abdullah memberikan contoh, kaum peranakan Arab relatif berhasil membentengi kaum mudanya dari arus radikalisasi karena kekuatan bertumpu pada sosok ulama yang dihormati.

"Mereka itu seperti benteng kita. Kita bernaung pada mereka. Dan akhirnya kelompok-kelompok garis keras itu tersingkir. Saya melihat ini sudah dilakukan," kata Abdullah.


Editor: Wijaya Kusuma
Photo: BBC Indonesia
Sumber: BBC Indonesia


This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement